Senin, 04 Juni 2012

Globalisasi dan Ketahanan Nasional


Globalisasi telah menempatkan bangsa dan negara Indonesia pada posisi yang dilematis. Di satu sisi proses globalisasi tersebut telah memberikan kesempatan dan tantangan bagi bangsa dan Negara Indonesia untuk dapat hidup bergaul dengan masyrakat internasional lebih baik lagi. Dalam hal ini proses tersebut telah merangsang upaya peningkatan daya saing dan kompetisi bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di berbagai aktivitas kehidupan. Di sisi lain, proses globalisasi tersebut telah memberikan tekanan dan beban yang sangat berat bagi bangsa dan Negara Indpnesia untuk dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan masyrakat internasional baru seperti dalam masalah penegkan HAM, lingkungan hidup dan lain-lainya.

Keseluruhan persoalan tersebut, mau tidak mau harus dihadapi dan diselesaikan oleh bangsa Indonesia. Setiap kelalaian dan kegagalan dalam merespon dan menangani persoalan dapat menimbulkan resiko yang serius bagi eksistensi dan keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia. Mengingat skop dan dimensi dari persoalan-persolan tersebut sangat kompleks dan beragam, maka diperlukan respond an cara penanganan yang sistematis, komprehensif-integral serta terencana. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk merespon perubahan dan mengatasi persoalan-persoalan tersebut adalah dengan melakukan pengkajian terhadap masalah-masalah ketahanan nasional beserta hal-hal yang terkait dengannay secara lebih objektif dan ilmiah.

Perubahan tersebut dalam banyak hal cukup signifikan, dan bahkan dalam hal tertentu cukup drastis, sehingga menimbulkan persoalan-persoalan baru yang sangat serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maraknya berbagai konflik, baik yang bersifat vertical, maupun yang bersifat horizontal, akhir-akhir ini merupakan bukti dari adanya persoalan yang muncul akibat perubahan-perubahan dramatis yang dimaksud. Muncul dan berkembangnya gerakan separatis di berbagai daerah, konflik yang berbau SARA serta berbagai tindak kekerasan di pelosok tanah air, merupakan contoh konkrit dari persoalan-persoalan tersebut dan sangat rentan terhadap disentigrasi bangsa.

Dengan demikian, semangat reformasi harus ditangkap dan diimplemantasikan dalam memandang, menyikasi dan merespon persoalan-persoalan ketahanan nasional yang muncul di era reformasi dan globalisasi dewasa ini. Dalam kaitan inilah Program Studi Ketahanan nasional merespons hal yang sangat urgent tersebut.

Ketahanan nasional adalah kondisi dinamika, yaitu suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mampu mengembangkan ketahanan, Kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, hambatan dan ancaman baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Juga secara langsung ataupun tidak langsung yang dapat membahayakan integritas, identitas serta kelangsungan hidup bangsa dan negara.
Dalam perjuangan mencapai cita-cita/tujuan.
 Asas – Asas Ketahanan Nasional
Asas ketahanan nasional adalah tata laku yang didasari nilai-nilai yang tersusun berlandaskan Pancasil, UUD 1945 dan Wawasan Nusantara. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut (Lemhannas, 2000: 99 – 11).
a) Asas kesejahtraan dan keamanan
Asas ini merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dan wajib dipenuhi bagi individu maupun masyarakat atau kelompok. Didalam kehidupan nasional berbangsa dan bernegara, unsur kesejahteraan dan keamanan ini biasanya menjadi tolak ukur bagi mantap/tidaknya ketahanan nasional.
b) Asas komprehensif/menyeluruh terpadu
Artinya, ketahanan nasional mencakup seluruh aspek kehidupan. Aspek-aspek tersebut berkaitan dalam bentuk persatuan dan perpaduan secara selaras, serasi, dan seimbang.
c) Asas kekeluargaan
Asas ini bersikap keadilan, kebersamaan, kesamaan, gotong royong, tenggang rasa dan tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara. Dalam hal hidup dengan asas kekeluargaan ini diakui adanya perbedaan, dan kenyataan real ini dikembangkan secara serasi dalam kehidupan kemitraan dan dijaga dari konflik yang bersifat merusak/destruktif.
Sifat-sifat Ketahanan Nasional
Beberapa sifat ketahanan nasional yang ada mingkin akan kami jabarkan seperti dibawah ini :
·         Mandiri
Maksudnya adalah percaya pada kemampuan dan kekuatan sendiri dan tidak mudah menyerah. Sifat ini merupakan prasyarat untuk menjalin suatu kerjasama. Kerjasama perlu dilandasi oleh sifat kemandirian, bukan semata-mata tergantung oleh pihak lain. 
·         Dinamis
Artinya tidak tetap, naik turun tergantung situasi dan kondisi bangsa dan negara serta lingkungan strategisnya. Dinamika ini selalu diorientasikan kemasa depan dan diarahkan pada kondisi yang lebih baik.
·         Wibawa
Keberhasilan pembinaan ketahanan nasional yang berlanjut dan berkesinambungan tetap dalam rangka meningkatkan kekuatan dan kemampuan bangsa. Dengan ini diharapkan agar bangsa Indonesia mempunyai harga diri dan diperhatikan oleh bangsa lain sesuai dengan kualitas yang melekat padanya. Atas dasar pemikiran diatas, maka berlaku logika, semakin tinggi tingkat ketahanan nasional, maka akan semakin tinggi wibawa negara dan pemerintah sebagai penyelenggara kehidupan nasional.
·         Konsultasi dan kerjasama
Hal ini dimaksudkan adanya saling menghargai dengan mengandalkan pada moral dan kepribadian bangsa. Hubungan kedua belah pihak perlu diselenggarakan secara komunikatif sehingga ada keterbukaan dalam melihat kondisi masing-masing didalam rangka hubungan ini diharapkan tidak ada usaha mengutamakan konfrontasi serta tidak ada hasrat mengandalkan kekuasaan dan kekuatan fisik semata.

Minggu, 03 Juni 2012

Islam dan Demokrasi

Islam merupakan agama yang rahmatan lil 'alamin, sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Al-Qur'an dan al-Sunnah adalah sumber utama dalam agama ini dan terhadap hal-hal yang tidak diterangkan secara eksplisit dalam dua sumber tersebut umat Islam diperbolehkan untuk berinisiatif (ber-ijtihad) guna menemukan ketentuan hukum.


Hadits Rasulullah yang dijadikan sebagai landasan untuk berijtihad ini telah banyak dikenal oleh kaum muslimin; yaitu hadits yang membicarakan tentang peristiwa diutusnya Mua'dz bin Jabal. Ketika rasulullah akan mengutus Mu'adz bin Jabal untuk menjadi Gubernur di Yaman beliu bertanya kepada Mu'adz: "Apabila dihadapkan kepadamu suatu kasus hukum, bagaimana anda memutuskannya?". Mu'adz menjawab: "Saya akan memutuskannya berdasarkan al-Qur'an". Rasul bertanya lagi: "Jika tidak ada dalam al-Qur'an?". Mu'adz menjawab: "Dengan Sunnah Rasulullah". Rasul bertanya lagi: " Jika dalam Sunnah Rasul juga tidak ada ?". Mu'adz menjawab: " Saya akan berijtihad (berinisiatif) dengan pendapatku". Kemudian rasulullah menepuk-nepuk dadanya, seraya berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada
utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridhaiNya."

Hadits tersebut mengisyaratkan kepada kita bahwa apabila al-Qur'an dan al-Sunnah tidak menerangkan secara eksplisit tentang sesuatu hukum maka diperbolehkan kepada kaum muslimin untuk melakukan ijtihad. Jadi, berijtihad dengan mempergunakan akal pikiran yang sehat dalam permasalahan hukum Islam, yang pada hakekatnya merupakan pemikiran falsafah itu diperbolehkan oleh rasul.

Dan pada saat sekarang ini, dimana masyarakat telah dan akan selalu mengalami perubahan baik berupa perubahan tatanan sosial, politik, budaya, ekonomi dan lain sebagainya, nampaknya ijtihad sudah menjadi kebutuhan kaum muslimin dalam rangka menjawab persoalan-persoalan hukum kotemporer dengan syarat bahwa para mujtahid harus selalu memperhatikan maqasidal-Shari'ah, tujuan-tujuan syari'at yang diantaranya dimaksudkan untuk memelihara kemashlahatan ummat manusia secara keseluruhan.

Diantara masalah-masalah kontemporer yang sering diperbincangkan orang dan pemah ditanyakan kepada Dr. Yusuf al-Qardhawi adalah masalah demokrasi. Karena ada sebagian aktivis Muslim yang mengaku mempunyai komitmen tinggi terhadap agama dan bergabung dalam beberapa jama'ah Islamiyah mengatakan bahwa demokrasi adalah berlawanan dengan Islam, karena demokrasi adalah pemerintahan rakyat terhadap rakyat, padahal menurut mereka rakyat bukanlah pihak yang memerintah, tetapi hanya Allah-lah yang memerintah dan memutuskan.

Terhadap pertanyaan tersebut Yusuf al-Qardhawi menyatakan bahwa sungguh aneh apabila sebagian orang menyatakan bahwa demokrasi adalah suatu kemungkaran dan kekafiran yang nyata, padahal mereka belum, bahkan tidak mengetahui persis hakekat dan esensi demokrasi. Dan mereka hanya mengetahui kulit luarnya saja.

Sementara itu ada pendapat lain menyatakan bahwa sebagai sebuah konsep dan sekaligus juga prinsip, syura dalam Islam tidak berbeda dengan demokrasi. Baik syura maupun demokrasi muncul dari bahwa pertimbangan kolektif lebih mungkin melahirkan hasil yang adil dan masuk akal bagi kebaikan bersama daripada pilihan individual. Dan juga tidak ditemukan indikator bahwa syura sebagai atau tidak sesuai dengan elemen-elemen dasar dari sebuah sistim demokratis.

Persoalan ini betul-betul memerlukan penjelasan yang tuntas dan tegas dari "ulama moderat" yang tidak ekstrim dan tidak pula lalai. Sehingga persoalan bisa didudukkan pada proporsinya yang benar dan Islam tidak lagi dibebani oleh berbagai macam penafsiran yang tidak benar, walaupun hal itu dilontarkan oleh sebagian ulama yang bagaimanapun mereka adalah manusia yang bisa salah dan bisa juga benar . Dan untuk menanggapi masalah tersebut, dalam makalah ini akan diuraikan tentang persoalan-persoalan yang berkaitan dengan demokrasi dan akan dikaitkan dengan esensi syari'at Islam, sehingga dapat disimpulkan tepat tidaknya menggemakan konsep demokrasi sebagai bagian dari interpretasi syura.

Kaidah-Kaidah Demokrasi

Kaidah-kaidah demokrasi di sini kiranya perlu dikembalikan kepada pengertian demokrasi yang mengandaikan prinsip kesetaraan. Prinsip ini dapat diderivasikan pada Surah al-Hujurat (49): 13, yang menunjukkan teosentrisme dalam Islam yang menyatakan kesatuan sebagai awal eksistensi manusia. Pluralitas kebangsaan yang terjadi pada akhimya harus dikembalikan kepada prinsip asli dengan kaidah ta'aruf (saling mengenal). Kaidah ini jelas mengandaikan adanya kesamaan, kebebasan, dan juga komunikasi dialogis tanpa dominasi satu kelompok terhadap yang lain. Hal ini jelas sangat penting bagi suatu demokrasi yang efektif.

Kaidah yang kedua diasalkan pada Surah Asy-Syura (42):38 dan Ali 'lmran (3):159 yang mengungkapkan kewajiban musyawarah dalam Islam. Prinsip ini rupanya juga diperkuat oleh sumber sekunder syari'ah, yaitu penghayatan yang dilakukan oleh Nabi sendiri. Kaidah musyarawah ini (syura) sifatnya inklusif karena terbuka juga bagi kelompok non-muslim.

Kaidah berikutnya adalah ta 'awun yang didasarkan pada Surah Al-Maidah (5) :2 yang menyatakan adanya tuntutan untuk kerja sama demi 'kepentingan' Tuhan dan kepentingan manusia sendiri. Di sini prinsip untuk demokrasi dimengerti secara positif sebagai prinsip untuk membangun iklim yang 'bajik' bagi hidup komunitas. Untuk itulah diperlukan kerja sama juga secara positif baik dalam level komunitas ke dalam maupun dalam level makro. Prinsip ini bermanfaat sebagai proses demokratisasi di setiap tingkat komunitas.

Kaidah berikutnya banyak dijumpai dalam Al-Quran sebagai padanan akar kata 'shahih', yaitu mashlahah. Kaidah ini berfungsi sebagai suatu moral force supaya setiap individu berbuat baik sehingga menguntungkan pihak lain (amar ma'ruf nahi munkar). Di sini Islam berperanan secara tidak langsung, dalam arti melalui individu atau kebudayaan (meskipun toh Kuntowijoyo menyatakan bahwa sebenarnya agama juga berperan langsung dalam proses demokratisasi).

Kaidah lainnya adalah 'Adl atau adil yang ditemukan dalam Surah An-Nisa' (4):58 dilanjutkan juga pada Surah Al-An'am (6):152. Tentu saja prinsip keadilan ini self-evident penting sebagai elemen demokrasi. Keadilan di sini mencakup keadilan sosial (distributive justice) maupun keadilan ekonomi (productive justice). Cakupan ini diulas lebih lanjut dalam kajian tentang demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi oleh Kuntowijoyo.

Kaidah demokrasi terakhir yang disebutkan oleh Kuntowijoyo adalah taghyir atau perubahan. Kaidah ini dapat ditemukan dalam Surah Ar-Ra'd (13):11 yang menyatakan bahwa manusia berperan besar dalam menentukan perubahan hidup. Kaidah ini mengingatkan sejarah demokrasi di Atena yang diwarnai oleh tuntutan pergantian anggota Dewan Lima Ratus. Elemen ini tidak dapat dihindari oleh demokrasi yang tidak mengakomodasi kecenderungan status quo.

Demokrasi menuntut suatu perubahan yang memang sejalan dengan perkembangan kesadaran manusia yang selalu ingin mengadakan perbaikan. Surah Al-Insyiqaq (84):19 mendukung peran manusia dalam berproses untuk berubah, bagaimanapun perubahan itu akan berlangsung. Tentu dari sekian sumber syari'ah itu tidak ada satu pun yang menyebutkan demokrasi. Dalam batas tertentu memang kaidah ini terkesan menjadi rasionalisasi untuk menyatakan bahwa Islam itu compatible dengan demokrasi. Akan tetapi, hal itu memang perlu dilakukan sebagai upaya kontak dengan arus perkembangan tetapi tetap berbasis, Di sini diperlukan 'dialog' antara Islam sebagai satu kekuatan politik yang besar dan demokrasi sebagai suatu sistim peradaban yang diakui secara universal menjadi cita-cita. Bagaimana sebaiknya Islam 'berdialog' dengan demokrasi?
Islam dan Demokrasi: Suatu Nisbah

Sebelum meninjau nisbah antara Islam dan demokrasi, kiranya perlu disampaikan terlebih dahulu setidak-tidaknya dua catatan penting yang harus diperhatikan. Pertama, Islam dan demokrasi tidak dapat diperbandingkan dalam level yang setingkat. Artinya, Islam sebagai kekuatan politik tidak dapat dilihat dengan mengesampingkan aspek-aspek keagamaan yang meliputi cult, creed, code, community. Demokrasi tidak memiliki elemen-elemen seperti itu sehingga tidak seimbanglah kalau dibandingkan dengan Islam secara keseluruhan. Dalam hal ini, demokrasi hanyalah bagian kecil dari sistem kepercayaan dalam Islam, kemudian, demokrasi sendiri tidak memiliki arti yang secara tepat disetujui bersama. Kalau demikian, artinya tidak ada basis pijakan yang mutlak wajib dipakai sebagai penentu kajian relasi antara Islam dan demokrasi.
 
Demokrasi tidak dapat menentukan suatu ideal type bagi dirinya sendiri baik dalam definisi maupun dalam implementasinya. Sebagai implikasinya, Islam pun dapat memberi pengertian, memberi isi kepada apa yang disebut demokrasi sesuai dengan kerangka pemahaman yang bernafaskan Islam. Dengan demikian, Islam juga berhadapan dengan instansi lain yang juga memiliki kans untuk memberi penafsiran atas demokrasi.

Kedua catatan ini cukup penting titik tolak untuk melihat sifat relasi antara Islam dan demokrasi. Islam dan demokrasi bukanlah dua entitas yang dapat dipertentangkan begitu saja atau sebaliknya, dianggap 'satu blok'. Di satu sisi, dapat dikatakan demokrasi itu compatible dengan Islam, tetapi, di lain sisi, harus diberi catatan bahwa kecocokan itu ada dalam batas-batas tertentu. Islam tetap memiliki aspek yang dapat memberi kesan ketidaksesuaian demokrasi.

Islam VS Demokrasi

Berkenaan dengan catatan pertama, bahwa Islam dan demokrasi tidak dapat dibandingkan dalam level yang setingkat, kiranya perlu diakui adanya pola hubungan subordinatif dalam paradigma Islam. Pola hubungan subordinatif ini menempatkan Islam sebagai substansi mutlak sedangkan negara menjadi relatif. Di hadapan negara Islam bersifat mutlak dalam arti bahwa negara dapat menjadi ekspresi nilai-nilai perenial Islam.

Dari pola hubungan yang demikian juga dapat dimengerti bahwa Islam menjadi rujukan sedangkan negara merupakan sarana saja (betapapun pentingnya sarana itu). Padahal, demokrasi hanyalah satu dari sekian piranti penyelenggaraan negara. Karena itu, dalam batas tertentu dapat dikatakan bahwa Islam pun bersifat mutlak terhadap demokrasi. Kemutlakan Islam kiranya terletak pada kompleksitas dan kelengkapan (setidak-tidaknya menurut klaim agama) sistem gagasannya. Dengan klaim ini Islam memiliki legitimasi untuk memberikan kerangka hidup yang lebih menyeluruh daripada demokrasi. Perbedaan keluasan ini akan menempatkan demokrasi di hadapan hukum dan ajaran Islam. Dengan kata lain, demokrasi dihadapkan pada teologi Islam.

Relasi antara demokrasi dan gagasan teologis Islam (konsisten dengan prinsip tauhid) juga bersifat subordinatif. Artinya, aspek teologis Islam menjadi otoritas tertinggi dan itu berarti demokrasi pun harus menyesuaikan diri dengan "jiwa dari hukum yang diwahyukan"." Kalau demikian, memang harus diakui bahwa antara Islam dan demokrasi ada perbedaan esensial. Demokrasi yang muncul sebagai hasil olah pikir manusia membuka peluang besar bagi perubahan nilai oleh masyarakat dan dapat saja perubahan ini justru merongrong nilai abadi dalam Islam."

Kiranya di sinilah letak potensi pertentangan antara Islam dan demokrasi, yaitu ketika gagasan-gagasan teologis dalam Islam sendiri berhadapan dengan gagasan demokrasi (yang tentunya tidak dilandasi perwahyuan transendental). Kasus Mahmud Mohamed Taha (yang dihukum gantung karena menyuarakan hak untuk berpindah agama) dapat menjadi contoh jelas untuk menggambarkan betapa institusi keagamaan, biar bagaimanapun, memiliki sistem kepercayaan yang dapat bertentangan dengan gagasan demokrasi.

Demokrasi Islamiah

Berkenaan dengan catatan kedua, bahwa demokrasi tidak memiliki arti secara tepat yang disetujui bersama, dapat dikatakan bahwa demokrasi compatible dengan Islam. Hal ini dapat dimengerti karena adanya kemungkinan bagi Islam untuk memberi pemaknaan terhadap demokrasi. Memberi makna kepada demokrasi berarti menginklusikan demokrasi dalam Islam atau lebih tepatnya memberi warna islamiah pada demokrasi. Di sini dapat dipahami bahwa syari'ah demokratis menjadi deep driving force yang menentukan pola tingkah laku manusia. Demokrasi tidak dipandang sebagai satu 'budaya' luar (Barat misalnya) tetapi memang secara internal ada dalam Islam sehingga harus diekstemalisasikan menurut syari'ah Islam. Dengan demikian, mungkin akan tampak bahwa demokrasi diberi atribut Islam: demokrasi islamiah.

Dalam hal ini, demokrasi tidak lagi menjadi kutub yang dihadapi Islam sehingga tidak ada konflik antara keduanya. Kalau ada konflik, hal itu hanya akan memposisikan demokrasi sebagai medium antara Islam dan kekuasaan politik lainnya. Hal ini misalnya ditunjukkan dalam pergumulan Islam dengan kekuatan militer di Indonesia." Demokrasi menjadi medium pergulatan interpretasi antara aspek- aspek teologis Islam dan aspek-aspek kekuatan politik yang lain. Kedua kekuatan politik ini memang memiliki hak untuk menginterpretasikan demokrasi dan dengan interpretasi itulah keduanya dapat bersitegang. Dengan demikian, letak konflik bukan antara Islam dan demokrasi, melainkan antara Islam dan kekuatan politik lain.

 Islam dan demokrasi, biara bagaimanapun, dalam batas catatan kedua tadi, bertalian kuat sehingga dapat dikatakan bahwa Islam compatible dengan demokrasi dan sebaliknya. Syari'ah demokratis memberi legitimasi pada demokrasi untuk disebut sebagai sistem gagasan yang islamiah. Selain itu, secara historis Islam sendiri memiliki tradisi yang menunjukkan ciri-dri demokrasi. Keadaan bahwa kepemimpinan ditetapkan atas dasar achievement, proses pemilihan terbuka, hak dan kewajiban rakyat yang sama/ pengakuan hak pada golongan agama lain, secara historis menunjukkan keunggulan Islam sebagai kekuatan politik yang luar biasa pada masanya.

Keadaan ini menjadi salah satu gambaran bagaimana Islam mewujudkan demokrasi dengan ciri-ciri demokratis yang dimilikmya. Aspek historis yang menjadi tradisi pada masa awal perkembangan Islam itu menunjukkan peluang adanya Islam demokratis.

Islam Demokratis: Suatu Antisipasi

Dari uraian tersebut di atas, dapatlah dilihat bahwa sebenamya potensi pertentangan antara Islam dan demokrasi terletak pada bagaimana kedua substansi itu ditafsirkan. Tentu saja tidak dapat disangkal bahwa menyebut Islam berarti menunjukkan unsur teologis, sedangkan menyebut demokrasi (sebagai istilah umum tanpa atribut Barat atau pun Islam) berarti mengacu pada sistem gagasan 'sekular' yang tanpa gagasan teologis pun dapat bertahan. Jika salah satu, apalagi keduanya, substansi itu dibatasi secara kaku, terjadilah kontradiksi antara Islam dan demokrasi.

Demokrasi memang menimbulkan banyak pertanyaan rilosons untuk menentukan batasan-batasannya. Kerumitan titik pijak diskusi demokrasi ini memberi kesan bahwa demokrasi memang tidak dapat diidentikkan dengan atribut-atribut tertentu. Dalam hal ini, demokrasi memang kiranya tidak perlu diidentikkan dengan demokrasi liberal Barat (walaupun dalam banyak kesempatan diklaim bahwa peradaban yang mutakhir dewasa ini adalah demokrasi lib- eral Barat). Kembali ke awal tulisan ini, sebagai prinsip dasar cukuplah diandaikan bahwa demokrasi adalah perimbangan politik.

Dalam pelaksanaannya, variasi akan terjadi di mana-mana sehingga memang tidak dapat ditentukan model negara demokrasi yang akurat. Dengan demikian, Islam dapat berinteraksi dengan demokrasi. Akan tetapi, interaksi itu pun akan mengalami stagnasi kalau Islam ditafsirkan secara kaku atau tradisional. Dengan kata lain, dialog Islam dan demokrasi akan mengalami kebuntuan kalau teologi Islam sendiri tidak mengalami transformasi. Kebuntuan ini disebabkan bukan oleh sifat statisnya demokrasi, melainkan oleh kemacetan Islam dalam merumuskan kembali identitasnya, yang dalam hal ini teologinya.

Masa depan Islam sedikit banyak akan ditentukan oleh bagaimana teologi Islam dapat memberi makna pada arus kemajuan. Untuk itulah Islam tidak dapat tidak mengupayakan suatu teologi transformatif sehingga Islam memberikan ruang kebebasan yang diperlukan untuk menanggapi perkembangan zaman . Di sini/ Islam perlu merumuskan pandangan-pandangan terhadap misalnya sekularisasi, martabat manusia, solidaritas, kerja sama antar agama mengingat adanya pluralitas agama.

Termasuk di dalamnya juga Islam perlu menjadi terbuka untuk memegang syari'ah secara wajar. Artinya, sumber-sumber syari'ah itu perlu dilihat secara proporsional, yang berarti mempertimbangkan aspek historis. Dengan demikian, dapatlah ditemukan mana vang sungguh-sungguh perenial dan mana yang bersifat spasial dan temporal. Jadi, dapat dibedakan antara yang mutlak dan relatif sehingga tidak ada pemutlakan antara keduanya (yang cenderung menimbulkan ciri ideologis dalam Islam).

Usaha ini akan menghindarkan Islam dari bahaya stagnasi dan arogansi sebagaimana pemah dialami oleh institusi Gereja. Sebut saja salah satu gagasan teologisnya yang seringkali dijadikan contoh landasan kemandegan Katolik, yaitu gagasan extra ecclesiam nullasa us. Aksioma teologis semacam ini memandulkan Gereja sebelum Konsili Vatikan II secara resmi memberi angin segar keterbukaan. Gereja lambat laun memperbaharui diri menggumuli hidup bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Keadaan kondusif itu memerlukan suatu reinterpretasi terhadap gagasan-gagasan dasar teologis maupun gagasan-gagasan dasar sekularisasi dunia.

Usaha reinterpretasi terhadap Islam atau membuat semacam teologi transformatif itu juga akan memantapkan kekuatan politis Islam baik dalam tataran teori maupun dalam implementasinya. Secara teoritis dapatlah disimpulkan bahwa Islam tetap memandang demokrasi sebagai bagian penting peradaban manusia. Dalam ungkapan yang lebih lugas bahkan dapat dikatakan Islam dan demokrasi tidak dapat dipisahkan (meskipun tentu saja dapat dibedakan), sebagaimana doktrin Islam menunjuk adanya keterkaitan yang begitu kuat antara Islam dan negara. Karena itu, secara teoritis hubungan Islam dan demokrasi tidak pemah dicemaskan. Relasi antara Islam dan demokrasi juga lebih bersifat positif. Setidak-tidaknya, syari'ah demokratis lebih menonjol jika dibandingkan dengan syari'ah non-demokratis. Hal inilah yang seharusnya dikembangkan oleh masyarakat Islam secara umum.

Praktik Islam Demokratis
Lain halnya kalau pola hubungan Islam dan demokrasi ditilik dari sisi politik praktis. Kadang kala yang terjadi justru syari'ah yang nondemokratis lebih menonjol. Setidak-tidaknya penghayatan syari'ah itu tidak sesuai dengan semangat demokrasi. Kalau sudah pada taraf implementasi, biasanya pertimbangan pragmatis akan lebih banyak berperan. Usaha teoritis untuk secara murni menghayati Islam dapat saja direduksi sebagai suatu kegiatan politik belaka. Padahal, sebagaimana ditekankan sebagai prinsip tawhid, kegiatan politik sebenamya menjadi manifestasi Islam sebagai gejala teologis.

Dalam hal ini, dapat dimengerti bahwa manifestasi Islam tersebut memang tidak dapat dibakukan dalam satu wadah. Sejarah Indonesia menyaksikan bahwa Islam di Indonesia memiliki kekayaan wadah yang seringkali oleh pengamat disederhanakan sebagai Islam cultural dan Islam skriptural. Lepas dari polemik penyederhanaan itu, dapat dikatakan di sini bahwa praktik yang dilakukan oleh Islam memiliki implikasi yang besar bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Tentu saja/ pertama-tama karena Islam memiliki basis masa yang sangat besar.

Dapat dikatakan bahwa perkembangan demokrasi di Indonesia bergantung pada solidaritas Islam. Kalaupun dimasukkkan juga unsur militer, militer pun (karena sebagai angkatan bersenjata secara teoritis tidak memiliki legitimasi untuk suatu demokrasi) akan bergantung juga pada gerak Islam. Kalau demikian/ tidak dapat tidak Islam harus menjadi promoter bagi perjuangan demokrasi. Akan tetapi, peran ini tidak akan efektif selama Islam tidak membuka dialog dengan kekuatan politik lainnya. Karena itu, Islam tetap dituntut menjadi Islam yang demokratis.

Dalam praktik sehari-hari, agaknya Islam demokratis bukanlah realitas semua di kalangan grass-root. Nilai-nilai demokratis sudah dihayati oleh kelompok besar Islam. Kalau pada kenyataannya suasana demokrasi itu tidak terjadi dalam percaturan politik di Indonesia, itu berarti bahwa di tingkat elitlah Islam mengalami kemacetan. Elit Islam tidak perlu dibatasi pada pimpinan di pemerintahan, karena termasuk juga dalam kelompok ini para kaum terpelajar, pers, maupun tokoh (pemimpin) umat local. Dengan mengandaikan bahwa budaya politik demokratis (bukan sekedar penghayatan nilai-nilai demokrasi, melainkan juga soal institusi) lahir dari atas, kiranya dapatlah ditegaskan perlunya konsolidasi di tingkat elit Islam. Tentu saja, karena begitu ragamnya eUt Islam ini, konsolidasi bukanlah sesuatu yang mudah dan cepat dicapai. Pada kenyataannya, konsolidasi itu juga perlu dilakukan justru dengan membangun jaringan lintas agama. Di sini, diperlukanlah suatu dialog antar agama.

Dialog itu tidak cukup dilakukan dalam tataran teologis (sehingga yang berdialog hanyalah para teolog) tetapi juga perlu mencakup tingkat politis. Dalam hal ini, diperlukan semacam koalisi yang dapat menunjang penyelenggaraan demokrasi di Indonesia sebagai Negara yang mau tidak mau dikategorikan sebagai negara Dunia Ketiga. Dengan strategi ini, Islam tetap memiliki peluang untuk mewujudkan syari'ah demokratis, sambil sendiri mengembangkan Islam yang demokratis. Dengan demikian, semakin berterimalah bahwa jalan menuju demokrasi bagi Islam di Indonesia adalah jalan yang sangat panjang, yang tidak mungkin ditempuh dengan semangat eksklusif. Karena itu, wanted. Islam inklusif, Islam demokratis.

Kesimpulan
Dari uraian singkat diatas dapat disimpulan bahwa:

1. Islam harus dipahami secara integral, sebagai agama yang disamping memperhatikan permasalahan-permasalahan akhirat, dia juga tidak pemah meremehkan masalah-masalah kekinian dan masa depan manusia sebagai makhluk pilihan Tuhan yang dalam bahasa agama dipercaya sebagai khalifah, wakil Tuhan di muka bumi ini, dengan mengembangkan persoalan-persoalan yang bermanfa'at bagi masyarakat secara umum, atau, dalam istilah ahli ushul disebut dengan al-Mashalih al- Mursalah.

2. Islam adalah agama yang sangat terbuka dan akomodatif terhadap segala perkembangan kebudayaan manusia dengan konsep-konsep yang dikembangkannya. Demokrasi, bagi Islam, bukanlah sesuatu yang asing karena di dalamnya terkandung konsep kesetaraan diantara seluruh manusia. Islam sebenamya tidak pemah memandang demokrasi sebagai kebudayaan Barat yang harus dihindari. Memang konsep itu secara kultural berkembang di Barat tetapi secara internal telah ada dalam Islam. Tidak suatu bukti yang jelas dan transparan yang dapat dijadikan indikator bahwa konsep demokrasi menyalahi dan bertentangan dengan syura. Masalahnya sekarang adalah bagaimana umat Islam mengisi demokrasi itu sejalan dengan syariat Islam. Wallahu A’lam



Hakikat Demokrasi


Pengertian Demokrasi

Istilah “Demokrasi” berasal dari bahasa Yunani, Demos yang berarti rakyat, dan Kratos yang berarti pemerintahan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang berasal dari rakyat, dan mengikutsertakan rakyat dalam pemerintahan Negara.

Dalam sistem pemerintahan Demokrasi, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Tetapi, rakyat tidak melaksanakan kedaulatannya secara langsung. Rakyat akan mewakilkannya kepada wakil-wakil rakyat. Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih Presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Pemilihan Presiden / anggota-anggota parlemen secara langsung belum menjamin bahwa negara tersebut adalah negara Demokrasi. Karena hal itu hanya sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walaupun perannya dalam sistem Demokrasi tidak besar, pemilihan umum sering disebut ”Pesta Demokrasi”. Ini adalah salah satu akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Dengan pengertian seperti itu, Demokrasi yang dipraktikkan adalah Demokrasi Perwakilan.

Salah satu pilar Demokrasi adalah prinsip Trias Politica yang membagi tiga kekuasaan politik negara (Eksekutif, Yudikatif, dan Legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis Lembaga Negara yang saling lepas dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis Lembaga Negara ini diperlukan agar ketiga Lembaga Negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol.

Ketiga jenis Lembaga Negara tersebut adalah Lembaga-Lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan Eksekutif, Lembaga-Lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan Yudikatif, dan Lembaga-Lembaga perwakilan rakyat yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan Legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan Legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum Legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan.

Demokrasi mengandung nilai-nilai moral. Jadi dalam penerapannya, Demokrasi harus dilandasi dengan nilai-nilai Demokrasi.

Nilai-nilai Demokrasi tersebut antara lain :
  1. Menyelesaikan perselisihan dengan cara damai.
  2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah
  3. Menyelenggarakan pergantian pemimpin secara teratur dan jujur.
  4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai seminimal mungkin.
  5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keaneka-ragaman.
  6. Menjamin tetap tegaknya keadilan.
Dalam pengembangan dan membudayakan kehidupan Demokrasi perlu prinsip-prinsip sebagai berikut :
  1. Pemerintahan yang berdasarkan konstitusi
  2. Pemilu yang bebas, jujur, dan adil
  3. Dijaminnya HAM
  4. Persamaan kedudukan didepan hukum
  5. Peradilan yang bebas dan tidak memikat
  6. Kebebasan berserikat / berorganisasi dan mengeluarkan pendapat
  7. Kebebasan pers / media massa.
Sejarah Perkembangan Demokrasi

Gagasan tentang Demokrasi sebenarnya sudah muncul sejak sekitar abad 5 SM, yakni pada masa Yunani Kuno. Pada waktu itu Demokrasi dilakukan secara langsung karena negara-negara Yunani pada masa itu wilayahnya sangat sempit dan penduduknya sedikit. Pada waktu itu, rakyat mudah dikumpulkan dengan tujuan bermusyawarah guna mengambil keputusan tentang kebijakan pemerintahan. Namun Demokrasi itu tidak berjalan lama karena munculnya konflik politik dan melemahnya Dewan Kota dalam memimpin polis.

Sejak runtuhnya Demokrasi, bangsa Eropa menerapkan sistem Monarki Absolute hingga abad ke-19. Kekuasaan mutlak tersebut digunakan oleh raja untuk bertindak sewenang-wenang.

Setelah tenggelam berabad-abad, muncullah ajaran ”Rule Of  Law (Kekuasaan Hukum)”. Ajaran ini menjelaskan bahwa yang berdaulat dalam suatu negara adalah hukum.

Unsur-unsur Rule Of  Law itu meliputi :

1.      Berlakunya supremasi hukum (hukum menempati kedudukan tertinggi; semua orang tunduk pada hukum).
2.      Perlakuan yang sama didepan hukum bagi setiap warga Negara.
3.      Terlindunginya hak-hak manusia oleh Undang-Undang Dasar serta keputusan-keputusan pengadilan.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, Demokrasi dipandang sebagai pilihan terbaik oleh hampir semua negara di dunia. Negara kita Republik Indonesia yang diproklamasikan hampir bersamaan dengan berakhirnya Perang Dunia II yang menyatakan diri sebagai negara Demokrasi atau negara yang berkedaulatan rakyat.

Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya dengan pembagian kekuasaan dalam suatu Negara, umumnya berdasarkan konsep dan prinsip Trias Politica. Kekuasaan Negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Prinsip semacam Trias Politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.

Demikian pula kekuasaan berlebihan di Lembaga Negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari Lembaga Legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat.
Intinya, setiap Lembaga Negara bukan hanya harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap Lembaga Negara dan mekanisme ini mampu secara operasional membatasi kekuasaan Lembaga Negara tersebut.

Macam-macam demokrasi

-  Demokrasi dengan sistem Parlementer
Menurut sistem ini hubungannya sangat erat antara Badan Eksekutif (pemerintah) dan Badan Legislatif (Badan Perwakilan Rakyat)

-  Demokrasi dengan sistem Pemisahan Kekuasaan
Demokrasi ini menyatakan tidak ada hubungan antara Eksekutif dan Legislatif. Dalam sistem ini, Badan Eksekutif dan pemerintah terdiri dari Presiden sebagai kepala pemerintahan dan dibantu oleh para mentri.

-  Demokrasi dengan sistem Reperendum
Dalam sistem ini tugas Badan Legislatif selalu berada dalam pengawasan rakyat.

Pengawasan ini dilaksankan dalam bentuk Reperendum yaitu, pemungutan suara langsung oleh rakyat tanpa melalui Badan Legislatif. Sistem ini dibagi dalam 2 kelompok yaitu :

1. Reperendum Obligatoire (reperendum yang wajib)
Reperendum Obligatoire adalah Reperendum yang menentukan berlakunya suatu Undang-Undang atau suatu peraturan.

2. Reperendum Fakultatif (reperendum yang tidak wajib)
Reperendum Fakultatif adalah Reperendum yang menentukan apakah suatu Undang-Undang yang sedang berlaku dapat terus dipergunakan atau tidak atau perlu ada tidaknya perubahan-perubahan.

Demokrasi dengan sistem pengawasan oleh rakyat ini berlaku dalam sistem pemerintahan negara Swiss. Seperti ke 2 sistem sebelumnya sistem Reperendum-pun memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya rakyat dilibatkan penuh dalam pembuatan Undang-Undang. Kelemahannya tidak semua rakyat memiliki pengetahuan yang cukup terhadap Undang-Undang yang baik dan pembuatan Undang-Undang menjadi lebih lambat.

Demokrasi di Indonesia

Demokrasi yang pertama kali diterapkan di Indonesia setelah merdeka adalah Demokrasi Liberal atau sistem Parlementer pada tanggal 14 November 1945. Setelah itu, Demokrasi yang dipakai adalah Demokrasi Terpimpim atau sistem Presidensial. Demokrasi Terpimpin mulai diberlakukan sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Demokrasi Pancasila ditegakkan di Indonesia sejak masa orde baru. Demokrasi Pancasila adalah Demokrasi yang menerapkan kelima sila Pancasila.

Kehidupan yang Demokratis dalam Bermasyarakat, Berbangsa, danBernegara.

Sepanjang masa kemerdekaannya, bangsa Indonesia telah mencoba menerapkan bermacam-macam Demokrasi. Hingga tahun 1959, dijalankan suatu praktik Demokrasi yang cenderung pada sistem Demokrasi Liberal, sebagaimana berlaku di negara-negara Barat yang bersifat individualistik. Pada tahun 1959-1966 diterapkan Demokrasi Terpimpin, yang didalampraktiknya cenderung otoriter. Mulai tahun 1966 hingga berakhirnya masa Orde Baru pada tahu 1998 diterapkan Demokrasi Pancasila. Model ini pun tidak mendorong tumbuhnya partisipasi rakyat. Berbagai macam Demokrasi yang diterapkan di Indonesia itu pada umumnya belum sejalan dengan prinsip-prinsip Demokrasi, karena tidak tersedianya ruang yang cukup untuk mengekspresikan kebebasan warga negara.

Sesudah bergulirnya reformasi pada tahun 1998, kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, kebebasan memilih, kebebasan berpolitik dan lain-lain semakin terbuka luas. Era reformasi sekaligus merupakan era demokratisasi. Dalam suasana reformasi, tidak jarang penggunaan kebebasan tersebut sering berbenturan dengan kepentingan umum. Inilah yang perlu ditata baik, sehingga penerapan kebebasan negara dan Demokrasi tetap berada dalam koridor hukum dan tidak mengganggu kepentingan umum. Bagaimanapun juga Demokrasi telah membuka pintu kebebasan, yang hal ini sangat diperlukan bagi rakyat dalam proses menemukan sistem Demokrasi yang lebih baik.

Dalam perkembangannya, konsep Demokrasi juga diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan, yakni dalam kehidupan ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan bidang-bidang kemasyarakatan lainnya. Dengan demikian, Demokrasi tidak hanya diterpkan dalam kehidupan bernegara, tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Kehidupan yang Demokratis adalah kehidupan yang melibatkan partisipasi rakyat dan ditujukan untuk kepentingan rakyat.

Sikap Positif Terhadap Pelaksanaan Demokrasi Dalam BerbagaiKehidupan

Demokrasi telah menjadi pilihan bagi hampir semua bangsa di dunia, tak terkecuali bangsa Indonesia. Di antara bangsa-bangsa itu perbedaannya terletak pada tingkat perkembangannya. Ada bangsa yang sudah sedemikian maju dalam berdemokrasi dan ada yang masih dalam pertumbuhan berdemokrasi. Di samping itu ada perbedaan latar belakang sosial-budaya yang berpengaruh terhadap corak Demokrasi di masing-masing negara. Bangsa Indonesia tentu menginginkan perkembangan Demokrasi yang semakin baik di negaranya.

Oleh karena itu kita wajib menunjukkan sikap positif terhadap pelaksanaan demokrasi dalam berbagai bidang kehidupan. Sikap positif itu perlu dibuktikan dengan sikap dan perbuatan yang sejalan dengan unsur-unsur Rule Of Law atau syarat-syarat Demokrasi sebagaimana yang telah dikemukakan. Demokrasi dengan segala cirinya itu perlu diwujudkan menjadi suatu kenyataan hidup dalam bidang apapun. Semua warga negara tanpa kecuali, baik penguasa maupun rakyat biasa, harus membiasakan hidup demokratis.

Dalam tradisi masyarakat di Indonesia sangat dikenal adanya kebiasaan bermusyawarah. Dalam musyawarah, warga kelompok masyarakat membicarakan segala persoalan yang menyangkut kepentingan bersama, misalnya persoalan kesejahteraan warga, irigasi, keamanan kampung, dan lain-lain. Tidak jarang keputusan musyawarah itu dilakukan dengan mufakat bulat, artinya disetujui oleh seluruh warga. Di kalangan masyarakat Jawa, musyawarah itu biasa dilakukan Balai Desa. Sementara itu di kalangan masyarakat Minangkabau dikenal adanya Rumah Gadang, sebagai sarana musyawarah. Untuk melaksanakan keputusan musyawarah itu biasanya juga dikerjakan secara bersama-sama yang dikenal dengan istilah gotong-royong. Tradisi Demokrasi dalam bentuk pengambilan keputusan bersama, bahkan melaksanakan keputusan secara bersama itu, hingga kini masih berlangsung dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di daerah pedesaan.

Walaupun corak Demokrasi yang telah diuraikan sederhana, tetapi hal itu tetap memiliki nilai yang berharga dalam proses perkembangan demokrasi di Indonesia. Dalam perkembangannya setelah mengalami kemerdekaan, bangsa Indonesia mampu menyesuaikan diri dengan sistem demokrasi modern. Lembaga-lembaga Perwakilan Rakyat dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Di desa-desa pun kini dibentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang fungsi serta peranannya mirip dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Itu semua merupakan bagian dari perkembangan budaya Demokrasi di Indonesia.

Budaya Demokrasi Berarti menjadikan demokrasi sebagai suatu kebiasaan hidup seharí-hari. Ada beberapa contoh sederhana dalam kehidupan seharí-hari. Dalam lingkungan keluarga, kita harus membiasakan diri untuk menghormati pendapat anggota keluarga lain. Dalam lingkungan sekolah, kita harus mematuhi tata tertib. Walaupun tampak sederhana, justru dalam kehidupan masyarakat itulah kita harus membiasakan hidup secara Demokratis. Pembudayaan Demokrasi perlu menjadi agenda penting bagi bangsa Indonesia, demi terwujudnya kesadaran berdemokrasi di kalangan masyarakat.

Islam dan HAM


HAM Menurut Konsep Islam
Hak asasi dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang umum dikenal. Sebab seluruh hak merupakan kewajiban bagi negara maupun individu yang tidak boleh diabaikan. Rasulullah saw pernah bersabda: "Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu." (HR. Bukhari dan Muslim). Maka negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi ini, melainkan mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini.

Sebagai contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi setiap individu tanpa ada perbedaan jenis kelamin, tidak juga perbedaan muslim dan non-muslim. Islam tidak hanya menjadikan itu kewajiban negara, melainkan negara diperintahkan untuk berperang demi melindungi hak-hak ini. Dari sinilah kaum muslimin di bawah Abu Bakar memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat.

Negara juga menjamin tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak ini dari pihak individu. Sebab pemerintah mempunyai tuga sosial yang apabila tidak dilaksanakan berarti tidak berhak untuk tetap memerintah. Allah berfirman:
"Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukannya di muka bumi, niscaya mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar. Dan kepada Allah-lah kembali semua urusan." (QS. 22: 4)

Jaminan Hak Pribadi
Jaminan pertama hak-hak pribadi dalam sejarah umat manusia adalah dijelaskan Al-Qur’an:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya... dst." (QS. 24: 27-28)

Dalam menjelaskan ayat ini, Ibnu Hanbal dalam Syarah Tsulatsiyah Musnad Imam Ahmad menjelaskan bahwa orang yang melihat melalui celah-celah ointu atau melalui lubang tembok atau sejenisnya selain membuka pintu, lalu tuan rumah melempar atau memukul hingga mencederai matanya, maka tidak ada hukuman apapun baginya, walaupun ia mampu membayar denda.

Jika mencari aib orang dilarang kepada individu, maka itu dilarang pula kepada negara. Penguasa tidak dibenarkan mencari-cari kesalahan rakyat atau individu masyarakat. Rasulullah saw bersabda: "Apabila pemimpin mencari keraguan di tengah manusia, maka ia telah merusak mereka." Imam Nawawi dalam Riyadus-Shalihin menceritakan ucapan Umar: "Orang-orang dihukumi dengan wahyu pada masa rasulullah saw. Akan tetapi wahyu telah terhenti. Oleh karenanya kami hanya menghukumi apa yang kami lihat secara lahiriah dari amal perbuatan kalian."

Muhammad Ad-Daghmi dalam At-Tajassus wa Ahkamuhu fi Syari’ah Islamiyah mengungkapkan bahwa para ulama berpendapat bahwa tindakan penguasa mencari-cari kesalahan untuk mengungkap kasus kejahatan dan kemunkaran, menggugurkan upayanya dalam mengungkap kemunkaran itu. Para ulama menetapkan bahwa pengungkapan kemunkaran bukan hasil dari upaya mencari-cari kesalahan yang dilarang agama.

Perbuatan mencari-cari kesalahan sudah dilakukan manakala muhtasib telah berupaya menyelidiki gejala-gejala kemunkaran pada diri seseorang, atau dia telah berupaya mencari-cari bukti yang mengarah kepada adanya perbuatan kemunkaran. Para ulama menyatakan bahwa setiap kemunkaran yang berlum tampak bukti-buktinya secara nyata, maka kemunkaran itu dianggap kemunkaran tertutup yang tidak dibenarkan bagi pihak lain untuk mengungkapkannya. Jika tidak, maka upaya pengungkapan ini termasuk tajassus yang dilarang agama.

(3) Nash Qur’an dan Sunnah tentang HAM
eskipun dalam Islam, hak-hak asasi manusia tidak secara khusus memiliki piagam, akan tetapi Al-Qur’an dan As-Sunnah memusatkan perhatian pada hak-hak yang diabaikan pada bangsa lain. Nash-nash ini sangat banyak, antara lain:

1.      Dalam al-Qur’an terdapat sekitar empat puluh ayat yang berbicara mengenai paksaan dan kebencian. Lebih dari sepuluh ayat bicara larangan memaksa, untuk menjamin kebebasan berfikir, berkeyakinan dan mengutarakan aspirasi. Misalnya: "Kebenaran itu datangnya dari Rabb-mu, barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir, biarlah ia kafir." (QS. 18: 29)

2.      Al-Qur’an telah mengetengahkan sikap menentang kedzaliman dan orang-orang yang berbuat dzalim dalam sekitar tiga ratus dua puluh ayat, dan memerintahkan berbuat adil dalam lima puluh empat ayat yang diungkapkan dengan kata-kata: ‘adl, qisth dan qishas.

3.      Al-Qur’an mengajukan sekitar delapan puluh ayat tentang hidup, pemeliharaan hidup dan penyediaan sarana hidup. Misalnya: "Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya." (QS. 5: 32). Juga Qur’an bicara kehormatan dalam sekitar dua puluh ayat.

4.      Al-Qur’an menjelaskan sekitar seratus lima puluh ayat tentang ciptaan dan makhluk-makhluk, serta tentang persamaan dalam penciptaan. Misalnya: "... Orang yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertawa diantara kamu." (QS. 49: 13)

5.      Pada haji wada’ Rasulullah menegaskan secara gamblang tentang hak-hak asasi manusia, pada lingkup muslim dan non-muslim, pemimpin dan rakyat, laki-laki dan wanita. Pada khutbah itu nabi saw juga menolak teori Yahudi mengenai nilai dasar keturunan.

Manusia di mata Islam semua sama, walau berbeda keturunan, kekayaan, jabatan atau jenis kelamin. Ketaqwaan-lah yang membedakan mereka. Rakyat dan penguasa juga memiliki persamaan dalam Islam. Yang demikian ini hingga sekarang belum dicapai oleh sistem demokrasi modern. Nabi saw sebagai kepala negara juga adalah manusia biasa, berlaku terhadapnya apa yang berlaku bagi rakyat. Maka Allah memerintahkan beliau untuk menyatakan: "Katakanlah bahwa aku hanyalah manusia biasa, hanya saja aku diberi wahyu, bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang Esa." (QS. 18: 110).

(4) Rumusan HAM dalam Islam
Apa yang disebut dengan hak asasi manusia dalam aturan buatan manusia adalah keharusan (dharurat) yang mana masyarakat tidak dapat hidup tanpa dengannya. Para ulama muslim mendefinisikan masalah-masalah dalam kitab Fiqh yang disebut sebagai Ad-Dharurat Al-Khams, dimana ditetapkan bahwa tujuan akhir syari’ah Islam adalah menjaga akal, agama, jiwa, kehormatan dan harta benda manusia.

Nabi saw telah menegaskan hak-hak ini dalam suatu pertemuan besar internasional, yaitu pada haji wada’. Dari Abu Umamah bin Tsa’labah, nabi saw bersabda: "Barangsiapa merampas hak seorang muslim, maka dia telah berhak masuk neraka dan haram masuk surga." Seorang lelaki bertanya: "Walaupun itu sesuatu yang kecil, wahay rasulullah ?" Beliau menjawab: "Walaupun hanya sebatang kayu arak." (HR. Muslim).

Islam berbeda dengan sistem lain dalam hal bahwa hak-hak manusia sebagai hamba Allah tidak boleh diserahkan dan bergantung kepada penguasa dan undang-undangnya. Tetapi semua harus mengacu pada hukum Allah. Sampai kepada soal shadaqah tetap dipandang sebagaimana hal-hal besar lain. Misalnya Allah melarang bershadaqah (berbuat baik) dengan hal-hal yang buruk. "Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya..." (QS. 2: 267).

1. Hak-hak Alamiah
Hak-hak alamiah manusia telah diberikan kepada seluruh ummat manusia sebagai makhluk yang diciptakan dari unsur yang sama dan dari sumber yang sama pula (lihat QS. 4: 1, QS. 3: 195).

A.    Hak Hidup
Allah menjamin kehidupan, diantaranya dengan melarang pembunuhan dan meng-qishas pembunuh (lihat QS. 5: 32, QS. 2: 179). Bahkan hak mayit pun dijaga oleh Allah. Misalnya hadist nabi: "Apabila seseorang mengkafani mayat saudaranya, hendaklah ia mengkafani dengan baik." Atau "Janganlah kamu mencaci-maki orang yang sudah mati. Sebab mereka telah melewati apa yang mereka kerjakan." (Keduanya HR. Bukhari).

B.     Hak Kebebasan Beragama dan Kebebasan Pribadi
Kebebasan pribadi adalah hak paling asasi bagi manusia, dan kebebasan paling suci adalah kebebasan beragama dan menjalankan agamanya, selama tidak mengganggu hak-hak orang lain. Firman Allah: "Dan seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman orang di muka bumi seluruhnya. Apakah kamu memaksa manusia supaya mereka menjadi orang beriman semuanya?" (QS. 10: 99).

Untuk menjamin kebebasan kelompok, masyarakat dan antara negara, Allah memerintahkan memerangi kelompok yang berbuat aniaya terhadap kelompok lain (QS. 49: 9). Begitu pula hak beribadah kalangan non-muslim. Khalifah Abu Bakar menasehati Yazid ketika akan memimpin pasukan: "Kamu akan menemukan kaum yang mempunyai keyakinan bahwa mereka tenggelam dalam kesendirian beribadah kepada Allah di biara-biara, maka biarkanlah mereka." Khalid bin Walid melakukan kesepakatan dengan penduduk Hirah untuk tidak mengganggu tempat peribadahan (gereja dan sinagog) mereka serta tidak melarang upacara-upacaranya.

Kerukunan hidup beragama bagi golongan minoritas diatur oleh prinsip umum ayat "Tidak ada paksaan dalam beragama." (QS. 2: 256).

Sedangkan dalam masalah sipil dan kehidupan pribadi (ahwal syakhsiyah) bagi mereka diatur syari’at Islam dengan syarat mereka bersedia menerimanya sebagai undang-undang. Firman Allah: "Apabila mereka (orang Yahudi) datang kepadamu minta keputusan, berilah putusan antara mereka atau biarkanlah mereka. Jika engkau biarkan mereka, maka tidak akan mendatangkan mudharat bagimu. Jika engkau menjatuhkan putusan hukum, hendaklah engkau putuskan dengan adil. Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang adil." (QS. 5: 42). Jika mereka tidak mengikuti aturan hukum yang berlaku di negara Islam, maka mereka boleh mengikuti aturan agamanya - selama mereka berpegang pada ajaran yang asli. Firman Allah: "Dan bagaimana mereka mengangkat kamu sebagai hakim, sedangkan ada pada mereka Taurat yang di dalamnya ada hukum Allah? Kemudian mereka tidak mengindahkan keputusanmu. Sesungguhnya mereka bukan orang-orang yang beriman ." (QS.5: 7).

C.    Hak Bekerja
Islam tidak hanya menempatkan bekerja sebagai hak tetapi juga kewajiban. Bekerja merupakan kehormatan yang perlu dijamin. Nabi saw bersabda: "Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang daripada makanan yang dihasilkan dari usaha tangannya sendiri." (HR. Bukhari). Dan Islam juga menjamin hak pekerja, seperti terlihat dalam hadist: "Berilah pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya." (HR. Ibnu Majah).

2. Hak Hidup
Islam melindungi segala hak yang diperoleh manusia yang disyari’atkan oleh Allah. Diantara hak-hak ini adalah :

1)      Hak Pemilikan
Islam menjamin hak pemilikan yang sah dan mengharamkan penggunaan cara apapun untuk mendapatkan harta orang lain yang bukan haknya, sebagaimana firman Allah: "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan bathil dan janganlah kamu bawa urusan harta itu kepada hakim agar kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa padahal kamu mengetahuinya." (QS. 2: 188). Oleh karena itulah Islam melarang riba dan setiap upaya yang merugikan hajat manusia. Islam juga melarang penipuan dalam perniagaan. Sabda nabi saw: "Jual beli itu dengan pilihan selama antara penjual dan pembeli belum berpisah. Jika keduanya jujur dalam jual-beli, maka mereka diberkahi. Tetapi jika berdusta dan menipu berkah jual-bei mereka dihapus." (HR. Al-Khamsah)
Islam juga melarang pencabutan hak milik yang didapatkan dari usaha yang halal, kecuali untuk kemashlahatan umum dan mewajibkan pembayaran ganti yang setimpal bagi pemiliknya. Sabda nabi saw: "Barangsiapa mengambil hak tanah orang lain secara tidak sah, maka dia dibenamkan ke dalam bumi lapis tujuh pada hari kiamat." Pelanggaran terhadap hak umum lebih besar dan sanksinya akan lebih berat, karena itu berarti pelanggaran tehadap masyarakat secara keseluruhan.

2)      Hak Berkeluarga
Allah menjadikan perkawinan sebagai sarana mendapatkan ketentraman. Bahkan Allah memerintahkan para wali mengawinkan orang-orang yang bujangan di bawah perwaliannya (QS. 24: 32). Aallah menentukan hak dan kewajiban sesuai dengan fithrah yang telah diberikan pada diri manusia dan sesuai dengan beban yang dipikul individu.

Pada tingkat negara dan keluarga menjadi kepemimpinan pada kepala keluarga yaitu kaum laki-laki. Inilah yang dimaksudkan sebagai kelebihan laki-laki atas wanita (QS. 4: 34). Tetapi dalam hak dan kewajiban masing-masing memiliki beban yang sama. "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari istrinya." (QS. 2: 228)

3)      Hak Keamanan
Dalam Islam, keamanan tercermin dalam jaminan keamanan mata pencaharian dan jaminan keamanan jiwa serta harta benda. Firman Allah: "Allah yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan." (QS. Quraisy: 3-4).

Diantara jenis keamanan adalah dilarangnya memasuki rumah tanpa izin (QS. 24: 27). Jika warga negara tidak memiliki tempat tinggal, negara berkewajiban menyediakan baginya. Termasuk keamanan dalam Islam adalah memberi tunjangan kepada fakir miskin, anak yatim dan yang membutuhkannya. Oleh karena itulah, Umar bin Khattab menerapkan tunjangan sosial kepada setiap bayi yang lahir dalam Islam baik miskin ataupun kaya. Dia berkata: "Demi Allah yang tidak ada sembahan selain Dia, setiap orang mempunyai hak dalam harta negara ini, aku beri atau tidak aku beri." (Abu Yusuf dalam Al-Kharaj). Umar jugalah yang membawa seorang Yahudi tua miskin ke petugas Baitul-Maal untuk diberikan shadaqah dan dibebaskan dari jizyah.

Bagi para terpidana atau tertuduh mempunyai jaminan keamanan untuk tidak disiksa atau diperlakukan semena-mena. Peringatan rasulullah saw: "Sesungguhnya Allah menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di dunia." (HR. Al-Khamsah). Islam memandang gugur terhadap keputusan yang diambil dari pengakuan kejahatan yang tidak dilakukan. Sabda nabi saw:"Sesungguhnya Allah menghapus dari ummatku kesalahan dan lupa serta perbuatan yang dilakukan paksaan" (HR. Ibnu Majah).

Diantara jaminan keamanan adalah hak mendpat suaka politik. Ketika ada warga tertindas yang mencari suaka ke negeri yang masuk wilayah Darul Islam. Dan masyarakat muslim wajib memberi suaka dan jaminan keamanan kepada mereka bila mereka meminta. Firman Allah: "Dan jika seorang dari kaum musyrikin minta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ke tempat yang aman baginya." (QS. 9: 6).

4)      Hak Keadilan
Diantara hak setiap orang adalah hak mengikuti aturan syari’ah dan diberi putusan hukum sesuai dengan syari’ah (QS. 4: 79). Dalam hal ini juga hak setiap orang untuk membela diri dari tindakan tidak adil yang dia terima. Firman Allah swt: "Allah tidak menyukai ucapan yang diucapkan terus-terang kecuali oleh orang yang dianiaya." (QS. 4: 148).

Merupakan hak setiap orang untuk meminta perlindungan kepada penguasa yang sah yang dapat memberikan perlindungan dan membelanya dari bahaya atau kesewenang-wenangan. Bagi penguasa muslim wajib menegakkan keadilan dan memberikan jaminan keamanan yang cukup. Sabda nabi saw: "Pemimpin itu sebuah tameng, berperang dibaliknya dan berlindung dengannya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Termasuk hak setiap orang untuk mendapatkan pembelaan dan juga mempunyai kewajiban membela hak orang lain dengan kesadarannya. Rasulullah saw bersabda: "Maukah kamu aku beri tahu saksi yang palng baik? Dialah yang memberi kesaksian sebelum diminta kesaksiannya." (HR. Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan Tirmidzi). Tidak dibenarkan mengambil hak orang lain untuk membela dirinya atas nama apapun. Sebab rasulullah menegaskan: "Sesungguhnya pihak yang benar memiliki pembelaan." (HR. Al-Khamsah). Seorang muslim juga berhak menolak aturan yang bertentangan dengan syari’ah, dan secara kolektif diperintahkan untuk mengambil sikap sebagai solidaritas terhadap sesama muslim yang mempertahankan hak.

D.    Hak Saling Membela dan Mendukung
Kesempurnaan iman diantaranya ditunjukkan dengan menyampaikan hak kepada pemiliknya sebaik mungkin, dan saling tolong-menolong dalam membela hak dan mencegah kedzaliman. Bahkan rasul melarang sikap mendiamkan sesama muslim, memutus hubungan relasi dan saling berpaling muka. Sabda nabi saw: "Hak muslim terhadap muslim ada lima: menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengantar ke kubur, memenuhi undangan dan mendoakan bila bersin." (HR. Bukhari).

E.     Hak Keadilan dan Persamaan
Allah mengutus rasulullah untuk melakukan perubahan sosial dengan mendeklarasikan persamaan dan keadilan bagi seluruh umat manusia (lihat QS. Al-Hadid: 25, Al-A’raf: 157 dan An-Nisa: 5). Manusia seluruhnya sama di mata hukum. Sabda nabi saw: "Seandainya Fathimah anak Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Pada masa rasulullah banyak kisah tentang kesamaan dan keadilan hukum ini. Misalnya kasus putri bangsawan dari suku Makhzum yang mencuri lalu dimintai keringanan hukum oleh Usamah bin Zaid, sampai kemudian rasul menegur dengan: "... Apabila orang yang berkedudukan di antara kalian melakukan pencurian, dia dibiarkan. Akan tetapi bila orang lemah yang melakukan pencurian, mereka memberlakukan hukum kriminal..." Juga kisah raja Jabalah Al-Ghassani masuk Islam dan melakukan penganiayaan saat haji, Umar tetap memberlakukan hukum meskipun ia seorang raja. Atau kisah Ali yang mengadukan seorang Yahudi mengenai tameng perangnya, dimana Yahudi akhirnya memenangkan perkara.
Umar pernah berpesan kepada Abu Musa Al-Asy’ari ketika mengangkatnya sebagai Qadli: "Perbaikilah manusia di hadapanmu, dalam majlismu, dan dalam pengadilanmu. Sehingga seseorang yang berkedudukan tidak mengharap kedzalimanmu dan seorang yang lemah tidak putus asa atas keadilanmu."

Tentang Kebebasan Mengecam Syari’ah

Sebagian orang mengajak kepada kebebasan berpendapat, termasuk mengemukakan kritik terhadap kelayakan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pegangan hidup manusia modern. Disana terdengar suara menuntut persamaan hak laki-laki dengan wanita, kecaman terhadap poligami, tuntutan akan perkawinan campur (muslim-non muslim). Dan bahkan mereka mengajak pada pemahaman Al-Qur’an dengan mengubah inti misi Al-Qur’an.

Orang-orang dengan pandangan seperti ini pada dasarnya telah menempatkan dirinya keluar dari agama Islam (riddah) yang ancaman hukumannya sangat berat. Namun jika mayoritas ummat Islam menghendaki hukuman syari’ah atas mereka, maka jawaban mereka adalah bahwa Al-Qur’an tidak menyebutkan sanksi riddah. Dengan kata lain mereka ingin mengatakan bahwa sunnah nabi saw. Tidak memiliki kekuatan legal dalam syari’ah, termasuk sanksi riddah itu.

Untuk menjawab hal ini ada beberapa hal penting yang harus dipahami, yaitu :

·         Kebebasan yang diartikan dengan kebebasan tanpa kendali dan ikatan tidak akan dapat ditemukan di masyarakat manapun. Ikatan dan kendali ini diantaranya adalah tidak dibenarkannya keluar dari aturan umum dalam negara. Maka tidak ada kebebasan mengecam hal-hal yang dipandang oleh negara sebagai pilar-pilar pokok bagi masyarakat.

·         Islam tidak memaksa seseorang untuk masuk ke dalam Islam, melainkan menjamin kebebasan kepada non-muslim untuk menjalankan syari’at agamanya meskipun bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh sebab itu, manakala ada seorang muslim yang mengklaim bahwa agamnya tidak sempurna, berarti ia telah melakukan kesalahan yang diancam oleh rasulullah saw: "Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah ia." (HR. Bukhari dan Muslim).

·         Meskipun terdapat kebebasan dalam memeluk Islam, tidak berarti bagi orang yang telah masuk Islam mempunyai kebebasan untuk merubah hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam Islam tidak ada konsep rahasia di tangan orang suci, dan tidak ada pula kepercayaan yang bertentangan dengan penalaran akal sehat seperti Trinita dan Kartu Ampunan. Dengan demikian, tidak ada alasan bagi penentang Islam untuk keluar dari Islam atau melakukan perubahan terhadap Islam.

·         Islam mengakui bahwa agama Ahli Kitab. Dari sini Islam membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita Ahli Kitab, karena garis nasab dalam Islam ada di tangan laki-laki.

·         Sanksi riddah tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an sebagaimana ibadah dan muamalah lainnya. Al-Qur’an hanya menjelaskan globalnya saja dan menugaskan rasulullah saw menjelaskan rincian hukum dan kewajiban. Firman Allah: "Dan telah Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menjelaskan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkannya." (QS. 16: 44).