HAM
Menurut Konsep Islam
Hak
asasi dalam Islam berbeda dengan hak asasi menurut pengertian yang umum
dikenal. Sebab seluruh hak merupakan kewajiban bagi negara maupun individu yang
tidak boleh diabaikan. Rasulullah saw pernah bersabda: "Sesungguhnya
darahmu, hartamu dan kehormatanmu haram atas kamu." (HR. Bukhari
dan Muslim). Maka negara bukan saja menahan diri dari menyentuh hak-hak asasi
ini, melainkan mempunyai kewajiban memberikan dan menjamin hak-hak ini.
Sebagai
contoh, negara berkewajiban menjamin perlindungan sosial bagi setiap individu
tanpa ada perbedaan jenis kelamin, tidak juga perbedaan muslim dan non-muslim.
Islam tidak hanya menjadikan itu kewajiban negara, melainkan negara
diperintahkan untuk berperang demi melindungi hak-hak ini. Dari sinilah kaum
muslimin di bawah Abu Bakar memerangi orang-orang yang tidak mau membayar
zakat.
Negara
juga menjamin tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak ini dari pihak individu.
Sebab pemerintah mempunyai tuga sosial yang apabila tidak dilaksanakan berarti
tidak berhak untuk tetap memerintah. Allah berfirman:
"Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan
kedudukannya di muka bumi, niscaya mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat,
menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar. Dan kepada Allah-lah
kembali semua urusan." (QS. 22: 4)
Jaminan
Hak Pribadi
Jaminan
pertama hak-hak pribadi dalam sejarah umat manusia adalah dijelaskan Al-Qur’an:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam
kepada penghuninya... dst." (QS. 24: 27-28)
Dalam
menjelaskan ayat ini, Ibnu Hanbal dalam Syarah Tsulatsiyah Musnad Imam
Ahmad menjelaskan bahwa orang yang melihat melalui celah-celah ointu
atau melalui lubang tembok atau sejenisnya selain membuka pintu, lalu tuan
rumah melempar atau memukul hingga mencederai matanya, maka tidak ada hukuman
apapun baginya, walaupun ia mampu membayar denda.
Jika
mencari aib orang dilarang kepada individu, maka itu dilarang pula kepada
negara. Penguasa tidak dibenarkan mencari-cari kesalahan rakyat atau individu
masyarakat. Rasulullah saw bersabda: "Apabila pemimpin mencari
keraguan di tengah manusia, maka ia telah merusak mereka." Imam
Nawawi dalam Riyadus-Shalihin menceritakan ucapan Umar: "Orang-orang
dihukumi dengan wahyu pada masa rasulullah saw. Akan tetapi wahyu telah
terhenti. Oleh karenanya kami hanya menghukumi apa yang kami lihat secara
lahiriah dari amal perbuatan kalian."
Muhammad
Ad-Daghmi dalam At-Tajassus wa Ahkamuhu fi Syari’ah Islamiyah mengungkapkan
bahwa para ulama berpendapat bahwa tindakan penguasa mencari-cari kesalahan
untuk mengungkap kasus kejahatan dan kemunkaran, menggugurkan upayanya dalam
mengungkap kemunkaran itu. Para ulama menetapkan bahwa pengungkapan kemunkaran
bukan hasil dari upaya mencari-cari kesalahan yang dilarang agama.
Perbuatan
mencari-cari kesalahan sudah dilakukan manakala muhtasib telah
berupaya menyelidiki gejala-gejala kemunkaran pada diri seseorang, atau dia
telah berupaya mencari-cari bukti yang mengarah kepada adanya perbuatan
kemunkaran. Para ulama menyatakan bahwa setiap kemunkaran yang berlum tampak
bukti-buktinya secara nyata, maka kemunkaran itu dianggap kemunkaran tertutup
yang tidak dibenarkan bagi pihak lain untuk mengungkapkannya. Jika tidak, maka
upaya pengungkapan ini termasuk tajassus yang dilarang agama.
(3)
Nash Qur’an dan Sunnah tentang HAM
eskipun
dalam Islam, hak-hak asasi manusia tidak secara khusus memiliki piagam, akan
tetapi Al-Qur’an dan As-Sunnah memusatkan perhatian pada hak-hak yang diabaikan
pada bangsa lain. Nash-nash ini sangat banyak, antara lain:
1.
Dalam al-Qur’an terdapat sekitar empat puluh ayat yang berbicara
mengenai paksaan dan kebencian. Lebih dari sepuluh ayat bicara larangan
memaksa, untuk menjamin kebebasan berfikir, berkeyakinan dan mengutarakan
aspirasi. Misalnya: "Kebenaran itu datangnya dari Rabb-mu,
barangsiapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin
kafir, biarlah ia kafir." (QS. 18: 29)
2.
Al-Qur’an telah mengetengahkan sikap menentang kedzaliman dan
orang-orang yang berbuat dzalim dalam sekitar tiga ratus dua puluh ayat, dan
memerintahkan berbuat adil dalam lima puluh empat ayat yang diungkapkan dengan
kata-kata: ‘adl, qisth dan qishas.
3.
Al-Qur’an mengajukan sekitar delapan puluh ayat tentang hidup,
pemeliharaan hidup dan penyediaan sarana hidup. Misalnya: "Barangsiapa
yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau
bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh
manusia seluruhnya." (QS. 5: 32). Juga Qur’an bicara kehormatan
dalam sekitar dua puluh ayat.
4.
Al-Qur’an menjelaskan sekitar seratus lima puluh ayat tentang
ciptaan dan makhluk-makhluk, serta tentang persamaan dalam penciptaan.
Misalnya: "... Orang yang paling mulia diantara kamu adalah yang
paling bertawa diantara kamu." (QS. 49: 13)
5.
Pada haji wada’ Rasulullah menegaskan secara gamblang tentang
hak-hak asasi manusia, pada lingkup muslim dan non-muslim, pemimpin dan rakyat,
laki-laki dan wanita. Pada khutbah itu nabi saw juga menolak teori Yahudi
mengenai nilai dasar keturunan.
Manusia di mata Islam
semua sama, walau berbeda keturunan, kekayaan, jabatan atau jenis kelamin.
Ketaqwaan-lah yang membedakan mereka. Rakyat dan penguasa juga memiliki
persamaan dalam Islam. Yang demikian ini hingga sekarang belum dicapai oleh
sistem demokrasi modern. Nabi saw sebagai kepala negara juga adalah manusia
biasa, berlaku terhadapnya apa yang berlaku bagi rakyat. Maka Allah memerintahkan
beliau untuk menyatakan: "Katakanlah bahwa aku hanyalah manusia
biasa, hanya saja aku diberi wahyu, bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang Esa." (QS.
18: 110).
(4)
Rumusan HAM dalam Islam
Apa
yang disebut dengan hak asasi manusia dalam aturan buatan manusia adalah
keharusan (dharurat) yang mana masyarakat tidak dapat hidup
tanpa dengannya. Para ulama muslim mendefinisikan masalah-masalah dalam kitab
Fiqh yang disebut sebagai Ad-Dharurat Al-Khams, dimana
ditetapkan bahwa tujuan akhir syari’ah Islam adalah menjaga akal, agama, jiwa,
kehormatan dan harta benda manusia.
Nabi
saw telah menegaskan hak-hak ini dalam suatu pertemuan besar internasional,
yaitu pada haji wada’. Dari Abu Umamah bin Tsa’labah, nabi saw bersabda: "Barangsiapa
merampas hak seorang muslim, maka dia telah berhak masuk neraka dan haram masuk
surga." Seorang lelaki bertanya: "Walaupun itu sesuatu
yang kecil, wahay rasulullah ?" Beliau menjawab:
"Walaupun hanya sebatang kayu arak." (HR. Muslim).
Islam
berbeda dengan sistem lain dalam hal bahwa hak-hak manusia sebagai hamba Allah
tidak boleh diserahkan dan bergantung kepada penguasa dan undang-undangnya.
Tetapi semua harus mengacu pada hukum Allah. Sampai kepada soal shadaqah tetap
dipandang sebagaimana hal-hal besar lain. Misalnya Allah melarang bershadaqah
(berbuat baik) dengan hal-hal yang buruk. "Dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya..." (QS.
2: 267).
1.
Hak-hak Alamiah
Hak-hak
alamiah manusia telah diberikan kepada seluruh ummat manusia sebagai makhluk
yang diciptakan dari unsur yang sama dan dari sumber yang sama pula (lihat QS.
4: 1, QS. 3: 195).
A.
Hak Hidup
Allah
menjamin kehidupan, diantaranya dengan melarang pembunuhan dan meng-qishas
pembunuh (lihat QS. 5: 32, QS. 2: 179). Bahkan hak mayit pun dijaga oleh Allah.
Misalnya hadist nabi: "Apabila seseorang mengkafani mayat
saudaranya, hendaklah ia mengkafani dengan baik." Atau "Janganlah
kamu mencaci-maki orang yang sudah mati. Sebab mereka telah melewati apa yang
mereka kerjakan." (Keduanya HR. Bukhari).
B.
Hak Kebebasan Beragama dan Kebebasan
Pribadi
Kebebasan
pribadi adalah hak paling asasi bagi manusia, dan kebebasan paling suci adalah
kebebasan beragama dan menjalankan agamanya, selama tidak mengganggu hak-hak
orang lain. Firman Allah: "Dan seandainya Tuhanmu menghendaki,
tentulah beriman orang di muka bumi seluruhnya. Apakah kamu memaksa manusia
supaya mereka menjadi orang beriman semuanya?" (QS. 10: 99).
Untuk
menjamin kebebasan kelompok, masyarakat dan antara negara, Allah memerintahkan
memerangi kelompok yang berbuat aniaya terhadap kelompok lain (QS. 49: 9).
Begitu pula hak beribadah kalangan non-muslim. Khalifah Abu Bakar menasehati
Yazid ketika akan memimpin pasukan: "Kamu akan menemukan kaum yang
mempunyai keyakinan bahwa mereka tenggelam dalam kesendirian beribadah kepada
Allah di biara-biara, maka biarkanlah mereka." Khalid bin Walid
melakukan kesepakatan dengan penduduk Hirah untuk tidak mengganggu tempat
peribadahan (gereja dan sinagog) mereka serta tidak melarang
upacara-upacaranya.
Kerukunan
hidup beragama bagi golongan minoritas diatur oleh prinsip umum ayat "Tidak
ada paksaan dalam beragama." (QS. 2: 256).
Sedangkan
dalam masalah sipil dan kehidupan pribadi (ahwal syakhsiyah) bagi
mereka diatur syari’at Islam dengan syarat mereka bersedia menerimanya sebagai
undang-undang. Firman Allah: "Apabila mereka (orang Yahudi) datang
kepadamu minta keputusan, berilah putusan antara mereka atau biarkanlah mereka.
Jika engkau biarkan mereka, maka tidak akan mendatangkan mudharat bagimu. Jika
engkau menjatuhkan putusan hukum, hendaklah engkau putuskan dengan adil.
Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang adil." (QS. 5: 42).
Jika mereka tidak mengikuti aturan hukum yang berlaku di negara Islam, maka
mereka boleh mengikuti aturan agamanya - selama mereka berpegang pada ajaran
yang asli. Firman Allah: "Dan bagaimana mereka mengangkat kamu
sebagai hakim, sedangkan ada pada mereka Taurat yang di dalamnya ada hukum
Allah? Kemudian mereka tidak mengindahkan keputusanmu. Sesungguhnya mereka
bukan orang-orang yang beriman ." (QS.5: 7).
C.
Hak Bekerja
Islam
tidak hanya menempatkan bekerja sebagai hak tetapi juga kewajiban. Bekerja
merupakan kehormatan yang perlu dijamin. Nabi saw bersabda: "Tidak
ada makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang daripada makanan yang
dihasilkan dari usaha tangannya sendiri." (HR. Bukhari). Dan
Islam juga menjamin hak pekerja, seperti terlihat dalam hadist: "Berilah
pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya." (HR. Ibnu
Majah).
2.
Hak Hidup
Islam
melindungi segala hak yang diperoleh manusia yang disyari’atkan oleh Allah. Diantara
hak-hak ini adalah :
1)
Hak Pemilikan
Islam
menjamin hak pemilikan yang sah dan mengharamkan penggunaan cara apapun untuk
mendapatkan harta orang lain yang bukan haknya, sebagaimana firman Allah: "Dan
janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan
jalan bathil dan janganlah kamu bawa urusan harta itu kepada hakim agar kamu
dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa
padahal kamu mengetahuinya." (QS. 2: 188). Oleh karena itulah
Islam melarang riba dan setiap upaya yang merugikan hajat manusia. Islam juga
melarang penipuan dalam perniagaan. Sabda nabi saw: "Jual beli itu
dengan pilihan selama antara penjual dan pembeli belum berpisah. Jika keduanya
jujur dalam jual-beli, maka mereka diberkahi. Tetapi jika berdusta dan menipu
berkah jual-bei mereka dihapus." (HR. Al-Khamsah)
Islam
juga melarang pencabutan hak milik yang didapatkan dari usaha yang halal,
kecuali untuk kemashlahatan umum dan mewajibkan pembayaran ganti yang setimpal
bagi pemiliknya. Sabda nabi saw: "Barangsiapa mengambil hak tanah
orang lain secara tidak sah, maka dia dibenamkan ke dalam bumi lapis tujuh pada
hari kiamat." Pelanggaran terhadap hak umum lebih besar dan
sanksinya akan lebih berat, karena itu berarti pelanggaran tehadap masyarakat
secara keseluruhan.
2)
Hak Berkeluarga
Allah
menjadikan perkawinan sebagai sarana mendapatkan ketentraman. Bahkan Allah
memerintahkan para wali mengawinkan orang-orang yang bujangan di bawah
perwaliannya (QS. 24: 32). Aallah menentukan hak dan kewajiban sesuai dengan
fithrah yang telah diberikan pada diri manusia dan sesuai dengan beban yang
dipikul individu.
Pada
tingkat negara dan keluarga menjadi kepemimpinan pada kepala keluarga yaitu
kaum laki-laki. Inilah yang dimaksudkan sebagai kelebihan laki-laki atas wanita
(QS. 4: 34). Tetapi dalam hak dan kewajiban masing-masing memiliki beban yang
sama. "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma’ruf, akan tetapi para suami mempunyai satu
tingkatan kelebihan dari istrinya." (QS. 2: 228)
3)
Hak Keamanan
Dalam
Islam, keamanan tercermin dalam jaminan keamanan mata pencaharian dan jaminan
keamanan jiwa serta harta benda. Firman Allah: "Allah yang telah
memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka
dari ketakutan." (QS. Quraisy: 3-4).
Diantara
jenis keamanan adalah dilarangnya memasuki rumah tanpa izin (QS. 24: 27). Jika
warga negara tidak memiliki tempat tinggal, negara berkewajiban menyediakan
baginya. Termasuk keamanan dalam Islam adalah memberi tunjangan kepada fakir
miskin, anak yatim dan yang membutuhkannya. Oleh karena itulah, Umar bin
Khattab menerapkan tunjangan sosial kepada setiap bayi yang lahir dalam Islam
baik miskin ataupun kaya. Dia berkata: "Demi Allah yang tidak ada
sembahan selain Dia, setiap orang mempunyai hak dalam harta negara ini, aku
beri atau tidak aku beri." (Abu Yusuf dalam Al-Kharaj). Umar
jugalah yang membawa seorang Yahudi tua miskin ke petugas Baitul-Maal untuk
diberikan shadaqah dan dibebaskan dari jizyah.
Bagi
para terpidana atau tertuduh mempunyai jaminan keamanan untuk tidak disiksa
atau diperlakukan semena-mena. Peringatan rasulullah saw: "Sesungguhnya
Allah menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di dunia." (HR.
Al-Khamsah). Islam memandang gugur terhadap keputusan yang diambil dari
pengakuan kejahatan yang tidak dilakukan. Sabda nabi saw:"Sesungguhnya
Allah menghapus dari ummatku kesalahan dan lupa serta perbuatan yang dilakukan
paksaan" (HR. Ibnu Majah).
Diantara
jaminan keamanan adalah hak mendpat suaka politik. Ketika ada warga tertindas
yang mencari suaka ke negeri yang masuk wilayah Darul Islam. Dan masyarakat
muslim wajib memberi suaka dan jaminan keamanan kepada mereka bila mereka
meminta. Firman Allah: "Dan jika seorang dari kaum musyrikin minta
perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman
Allah, kemudian antarkanlah ke tempat yang aman baginya." (QS. 9:
6).
4)
Hak Keadilan
Diantara
hak setiap orang adalah hak mengikuti aturan syari’ah dan diberi putusan hukum
sesuai dengan syari’ah (QS. 4: 79). Dalam hal ini juga hak setiap orang untuk
membela diri dari tindakan tidak adil yang dia terima. Firman Allah swt: "Allah
tidak menyukai ucapan yang diucapkan terus-terang kecuali oleh orang yang
dianiaya." (QS. 4: 148).
Merupakan
hak setiap orang untuk meminta perlindungan kepada penguasa yang sah yang dapat
memberikan perlindungan dan membelanya dari bahaya atau kesewenang-wenangan. Bagi
penguasa muslim wajib menegakkan keadilan dan memberikan jaminan keamanan yang
cukup. Sabda nabi saw: "Pemimpin itu sebuah tameng, berperang
dibaliknya dan berlindung dengannya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Termasuk
hak setiap orang untuk mendapatkan pembelaan dan juga mempunyai kewajiban
membela hak orang lain dengan kesadarannya. Rasulullah saw bersabda: "Maukah
kamu aku beri tahu saksi yang palng baik? Dialah yang memberi kesaksian sebelum
diminta kesaksiannya." (HR. Muslim, Abu Daud, Nasa’i dan Tirmidzi).
Tidak dibenarkan mengambil hak orang lain untuk membela dirinya atas nama
apapun. Sebab rasulullah menegaskan: "Sesungguhnya pihak yang
benar memiliki pembelaan." (HR. Al-Khamsah). Seorang muslim juga
berhak menolak aturan yang bertentangan dengan syari’ah, dan secara kolektif
diperintahkan untuk mengambil sikap sebagai solidaritas terhadap sesama muslim
yang mempertahankan hak.
D.
Hak Saling Membela dan Mendukung
Kesempurnaan
iman diantaranya ditunjukkan dengan menyampaikan hak kepada pemiliknya sebaik
mungkin, dan saling tolong-menolong dalam membela hak dan mencegah kedzaliman.
Bahkan rasul melarang sikap mendiamkan sesama muslim, memutus hubungan relasi
dan saling berpaling muka. Sabda nabi saw: "Hak muslim terhadap
muslim ada lima: menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengantar ke kubur,
memenuhi undangan dan mendoakan bila bersin." (HR. Bukhari).
E.
Hak Keadilan dan Persamaan
Allah
mengutus rasulullah untuk melakukan perubahan sosial dengan mendeklarasikan
persamaan dan keadilan bagi seluruh umat manusia (lihat QS. Al-Hadid: 25,
Al-A’raf: 157 dan An-Nisa: 5). Manusia seluruhnya sama di mata hukum. Sabda
nabi saw: "Seandainya Fathimah anak Muhammad mencuri, pasti aku
potong tangannya." (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada
masa rasulullah banyak kisah tentang kesamaan dan keadilan hukum ini. Misalnya
kasus putri bangsawan dari suku Makhzum yang mencuri lalu dimintai keringanan
hukum oleh Usamah bin Zaid, sampai kemudian rasul menegur dengan: "... Apabila
orang yang berkedudukan di antara kalian melakukan pencurian, dia dibiarkan.
Akan tetapi bila orang lemah yang melakukan pencurian, mereka memberlakukan
hukum kriminal..." Juga kisah raja Jabalah Al-Ghassani masuk
Islam dan melakukan penganiayaan saat haji, Umar tetap memberlakukan hukum
meskipun ia seorang raja. Atau kisah Ali yang mengadukan seorang Yahudi
mengenai tameng perangnya, dimana Yahudi akhirnya memenangkan perkara.
Umar
pernah berpesan kepada Abu Musa Al-Asy’ari ketika mengangkatnya sebagai Qadli: "Perbaikilah
manusia di hadapanmu, dalam majlismu, dan dalam pengadilanmu. Sehingga
seseorang yang berkedudukan tidak mengharap kedzalimanmu dan seorang yang lemah
tidak putus asa atas keadilanmu."
Tentang
Kebebasan Mengecam Syari’ah
Sebagian
orang mengajak kepada kebebasan berpendapat, termasuk mengemukakan kritik
terhadap kelayakan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pegangan hidup manusia modern.
Disana terdengar suara menuntut persamaan hak laki-laki dengan wanita, kecaman
terhadap poligami, tuntutan akan perkawinan campur (muslim-non muslim). Dan
bahkan mereka mengajak pada pemahaman Al-Qur’an dengan mengubah inti misi
Al-Qur’an.
Orang-orang
dengan pandangan seperti ini pada dasarnya telah menempatkan dirinya keluar
dari agama Islam (riddah) yang ancaman hukumannya sangat
berat. Namun jika mayoritas ummat Islam menghendaki hukuman syari’ah atas
mereka, maka jawaban mereka adalah bahwa Al-Qur’an tidak menyebutkan sanksi riddah. Dengan
kata lain mereka ingin mengatakan bahwa sunnah nabi saw. Tidak memiliki
kekuatan legal dalam syari’ah, termasuk sanksi riddah itu.
Untuk
menjawab hal ini ada beberapa hal penting yang harus dipahami, yaitu :
·
Kebebasan yang diartikan dengan kebebasan tanpa kendali dan ikatan
tidak akan dapat ditemukan di masyarakat manapun. Ikatan dan kendali ini
diantaranya adalah tidak dibenarkannya keluar dari aturan umum dalam negara.
Maka tidak ada kebebasan mengecam hal-hal yang dipandang oleh negara sebagai
pilar-pilar pokok bagi masyarakat.
·
Islam tidak memaksa seseorang untuk masuk ke dalam Islam,
melainkan menjamin kebebasan kepada non-muslim untuk menjalankan syari’at
agamanya meskipun bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh sebab itu, manakala
ada seorang muslim yang mengklaim bahwa agamnya tidak sempurna, berarti ia
telah melakukan kesalahan yang diancam oleh rasulullah saw: "Barangsiapa
mengganti agamanya, maka bunuhlah ia." (HR. Bukhari dan Muslim).
·
Meskipun terdapat kebebasan dalam memeluk Islam, tidak berarti bagi
orang yang telah masuk Islam mempunyai kebebasan untuk merubah hukum-hukum yang
ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam Islam tidak ada konsep rahasia di
tangan orang suci, dan tidak ada pula kepercayaan yang bertentangan dengan
penalaran akal sehat seperti Trinita dan Kartu Ampunan. Dengan demikian, tidak
ada alasan bagi penentang Islam untuk keluar dari Islam atau melakukan
perubahan terhadap Islam.
·
Islam mengakui bahwa agama Ahli Kitab. Dari sini Islam membolehkan
laki-laki muslim menikahi wanita Ahli Kitab, karena garis nasab dalam Islam ada
di tangan laki-laki.
·
Sanksi riddah tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an sebagaimana ibadah
dan muamalah lainnya. Al-Qur’an hanya menjelaskan globalnya saja dan menugaskan
rasulullah saw menjelaskan rincian hukum dan kewajiban. Firman Allah: "Dan
telah Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menjelaskan kepada ummat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkannya." (QS. 16: 44).