Hadits
Rasulullah yang dijadikan sebagai landasan untuk berijtihad ini telah
banyak dikenal oleh kaum muslimin; yaitu hadits yang membicarakan
tentang peristiwa diutusnya Mua'dz bin Jabal. Ketika rasulullah akan
mengutus Mu'adz bin Jabal untuk menjadi Gubernur di Yaman beliu bertanya
kepada Mu'adz: "Apabila dihadapkan kepadamu suatu kasus hukum,
bagaimana anda memutuskannya?". Mu'adz menjawab: "Saya akan
memutuskannya berdasarkan al-Qur'an". Rasul bertanya lagi: "Jika tidak
ada dalam al-Qur'an?". Mu'adz menjawab: "Dengan Sunnah Rasulullah".
Rasul bertanya lagi: " Jika dalam Sunnah Rasul juga tidak ada ?". Mu'adz
menjawab: " Saya akan berijtihad (berinisiatif) dengan pendapatku".
Kemudian rasulullah menepuk-nepuk dadanya, seraya berkata: "Segala puji
bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada
utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridhaiNya."
Hadits tersebut mengisyaratkan
kepada kita bahwa apabila al-Qur'an dan al-Sunnah tidak menerangkan
secara eksplisit tentang sesuatu hukum maka diperbolehkan kepada kaum
muslimin untuk melakukan ijtihad. Jadi, berijtihad dengan mempergunakan
akal pikiran yang sehat dalam permasalahan hukum Islam, yang pada
hakekatnya merupakan pemikiran falsafah itu diperbolehkan oleh rasul.
Dan
pada saat sekarang ini, dimana masyarakat telah dan akan selalu
mengalami perubahan baik berupa perubahan tatanan sosial, politik,
budaya, ekonomi dan lain sebagainya, nampaknya ijtihad sudah menjadi
kebutuhan kaum muslimin dalam rangka menjawab persoalan-persoalan hukum
kotemporer dengan syarat bahwa para mujtahid harus selalu memperhatikan
maqasidal-Shari'ah, tujuan-tujuan syari'at yang diantaranya dimaksudkan
untuk memelihara kemashlahatan ummat manusia secara keseluruhan.
Diantara
masalah-masalah kontemporer yang sering diperbincangkan orang dan pemah
ditanyakan kepada Dr. Yusuf al-Qardhawi adalah masalah demokrasi.
Karena ada sebagian aktivis Muslim yang mengaku mempunyai komitmen
tinggi terhadap agama dan bergabung dalam beberapa jama'ah Islamiyah
mengatakan bahwa demokrasi adalah berlawanan dengan Islam, karena
demokrasi adalah pemerintahan rakyat terhadap rakyat, padahal menurut
mereka rakyat bukanlah pihak yang memerintah, tetapi hanya Allah-lah
yang memerintah dan memutuskan.
Terhadap
pertanyaan tersebut Yusuf al-Qardhawi menyatakan bahwa sungguh aneh
apabila sebagian orang menyatakan bahwa demokrasi adalah suatu
kemungkaran dan kekafiran yang nyata, padahal mereka belum, bahkan tidak
mengetahui persis hakekat dan esensi demokrasi. Dan mereka hanya
mengetahui kulit luarnya saja.
Sementara
itu ada pendapat lain menyatakan bahwa sebagai sebuah konsep dan
sekaligus juga prinsip, syura dalam Islam tidak berbeda dengan
demokrasi. Baik syura maupun demokrasi muncul dari bahwa pertimbangan
kolektif lebih mungkin melahirkan hasil yang adil dan masuk akal bagi
kebaikan bersama daripada pilihan individual. Dan juga tidak ditemukan
indikator bahwa syura sebagai atau tidak sesuai dengan elemen-elemen
dasar dari sebuah sistim demokratis.
Persoalan
ini betul-betul memerlukan penjelasan yang tuntas dan tegas dari "ulama
moderat" yang tidak ekstrim dan tidak pula lalai. Sehingga persoalan
bisa didudukkan pada proporsinya yang benar dan Islam tidak lagi
dibebani oleh berbagai macam penafsiran yang tidak benar, walaupun hal
itu dilontarkan oleh sebagian ulama yang bagaimanapun mereka adalah
manusia yang bisa salah dan bisa juga benar . Dan untuk menanggapi
masalah tersebut, dalam makalah ini akan diuraikan tentang
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan demokrasi dan akan dikaitkan
dengan esensi syari'at Islam, sehingga dapat disimpulkan tepat tidaknya
menggemakan konsep demokrasi sebagai bagian dari interpretasi syura.
Kaidah-Kaidah Demokrasi
Kaidah-kaidah
demokrasi di sini kiranya perlu dikembalikan kepada pengertian
demokrasi yang mengandaikan prinsip kesetaraan. Prinsip ini dapat
diderivasikan pada Surah al-Hujurat (49): 13, yang menunjukkan
teosentrisme dalam Islam yang menyatakan kesatuan sebagai awal
eksistensi manusia. Pluralitas kebangsaan yang terjadi pada akhimya
harus dikembalikan kepada prinsip asli dengan kaidah ta'aruf (saling
mengenal). Kaidah ini jelas mengandaikan adanya kesamaan, kebebasan, dan
juga komunikasi dialogis tanpa dominasi satu kelompok terhadap yang
lain. Hal ini jelas sangat penting bagi suatu demokrasi yang efektif.
Kaidah
yang kedua diasalkan pada Surah Asy-Syura (42):38 dan Ali 'lmran
(3):159 yang mengungkapkan kewajiban musyawarah dalam Islam. Prinsip ini
rupanya juga diperkuat oleh sumber sekunder syari'ah, yaitu penghayatan
yang dilakukan oleh Nabi sendiri. Kaidah musyarawah ini (syura)
sifatnya inklusif karena terbuka juga bagi kelompok non-muslim.
Kaidah
berikutnya adalah ta 'awun yang didasarkan pada Surah Al-Maidah (5) :2
yang menyatakan adanya tuntutan untuk kerja sama demi 'kepentingan'
Tuhan dan kepentingan manusia sendiri. Di sini prinsip untuk demokrasi
dimengerti secara positif sebagai prinsip untuk membangun iklim yang
'bajik' bagi hidup komunitas. Untuk itulah diperlukan kerja sama juga
secara positif baik dalam level komunitas ke dalam maupun dalam level
makro. Prinsip ini bermanfaat sebagai proses demokratisasi di setiap
tingkat komunitas.
Kaidah
berikutnya banyak dijumpai dalam Al-Quran sebagai padanan akar kata
'shahih', yaitu mashlahah. Kaidah ini berfungsi sebagai suatu moral
force supaya setiap individu berbuat baik sehingga menguntungkan pihak
lain (amar ma'ruf nahi munkar). Di sini Islam berperanan secara tidak
langsung, dalam arti melalui individu atau kebudayaan (meskipun toh
Kuntowijoyo menyatakan bahwa sebenarnya agama juga berperan langsung
dalam proses demokratisasi).
Kaidah
lainnya adalah 'Adl atau adil yang ditemukan dalam Surah An-Nisa'
(4):58 dilanjutkan juga pada Surah Al-An'am (6):152. Tentu saja prinsip
keadilan ini self-evident penting sebagai elemen demokrasi. Keadilan di
sini mencakup keadilan sosial (distributive justice) maupun keadilan
ekonomi (productive justice). Cakupan ini diulas lebih lanjut dalam
kajian tentang demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi oleh Kuntowijoyo.
Kaidah
demokrasi terakhir yang disebutkan oleh Kuntowijoyo adalah taghyir atau
perubahan. Kaidah ini dapat ditemukan dalam Surah Ar-Ra'd (13):11 yang
menyatakan bahwa manusia berperan besar dalam menentukan perubahan
hidup. Kaidah ini mengingatkan sejarah demokrasi di Atena yang diwarnai
oleh tuntutan pergantian anggota Dewan Lima Ratus. Elemen ini tidak
dapat dihindari oleh demokrasi yang tidak mengakomodasi kecenderungan
status quo.
Demokrasi menuntut
suatu perubahan yang memang sejalan dengan perkembangan kesadaran
manusia yang selalu ingin mengadakan perbaikan. Surah Al-Insyiqaq
(84):19 mendukung peran manusia dalam berproses untuk berubah,
bagaimanapun perubahan itu akan berlangsung. Tentu dari sekian sumber
syari'ah itu tidak ada satu pun yang menyebutkan demokrasi. Dalam batas
tertentu memang kaidah ini terkesan menjadi rasionalisasi untuk
menyatakan bahwa Islam itu compatible dengan demokrasi. Akan tetapi, hal
itu memang perlu dilakukan sebagai upaya kontak dengan arus
perkembangan tetapi tetap berbasis, Di sini diperlukan 'dialog' antara
Islam sebagai satu kekuatan politik yang besar dan demokrasi sebagai
suatu sistim peradaban yang diakui secara universal menjadi cita-cita.
Bagaimana sebaiknya Islam 'berdialog' dengan demokrasi?
Islam dan Demokrasi: Suatu Nisbah
Sebelum
meninjau nisbah antara Islam dan demokrasi, kiranya perlu disampaikan
terlebih dahulu setidak-tidaknya dua catatan penting yang harus
diperhatikan. Pertama, Islam dan demokrasi tidak dapat diperbandingkan
dalam level yang setingkat. Artinya, Islam sebagai kekuatan politik
tidak dapat dilihat dengan mengesampingkan aspek-aspek keagamaan yang
meliputi cult, creed, code, community. Demokrasi tidak memiliki
elemen-elemen seperti itu sehingga tidak seimbanglah kalau dibandingkan
dengan Islam secara keseluruhan. Dalam hal ini, demokrasi hanyalah
bagian kecil dari sistem kepercayaan dalam Islam, kemudian, demokrasi
sendiri tidak memiliki arti yang secara tepat disetujui bersama. Kalau
demikian, artinya tidak ada basis pijakan yang mutlak wajib dipakai
sebagai penentu kajian relasi antara Islam dan demokrasi.
Demokrasi
tidak dapat menentukan suatu ideal type bagi dirinya sendiri baik dalam
definisi maupun dalam implementasinya. Sebagai implikasinya, Islam pun
dapat memberi pengertian, memberi isi kepada apa yang disebut demokrasi
sesuai dengan kerangka pemahaman yang bernafaskan Islam. Dengan
demikian, Islam juga berhadapan dengan instansi lain yang juga memiliki
kans untuk memberi penafsiran atas demokrasi.
Kedua
catatan ini cukup penting titik tolak untuk melihat sifat relasi antara
Islam dan demokrasi. Islam dan demokrasi bukanlah dua entitas yang
dapat dipertentangkan begitu saja atau sebaliknya, dianggap 'satu blok'.
Di satu sisi, dapat dikatakan demokrasi itu compatible dengan Islam,
tetapi, di lain sisi, harus diberi catatan bahwa kecocokan itu ada dalam
batas-batas tertentu. Islam tetap memiliki aspek yang dapat memberi
kesan ketidaksesuaian demokrasi.
Islam VS Demokrasi
Berkenaan
dengan catatan pertama, bahwa Islam dan demokrasi tidak dapat
dibandingkan dalam level yang setingkat, kiranya perlu diakui adanya
pola hubungan subordinatif dalam paradigma Islam. Pola hubungan
subordinatif ini menempatkan Islam sebagai substansi mutlak sedangkan
negara menjadi relatif. Di hadapan negara Islam bersifat mutlak dalam
arti bahwa negara dapat menjadi ekspresi nilai-nilai perenial Islam.
Dari
pola hubungan yang demikian juga dapat dimengerti bahwa Islam menjadi
rujukan sedangkan negara merupakan sarana saja (betapapun pentingnya
sarana itu). Padahal, demokrasi hanyalah satu dari sekian piranti
penyelenggaraan negara. Karena itu, dalam batas tertentu dapat dikatakan
bahwa Islam pun bersifat mutlak terhadap demokrasi. Kemutlakan Islam
kiranya terletak pada kompleksitas dan kelengkapan (setidak-tidaknya
menurut klaim agama) sistem gagasannya. Dengan klaim ini Islam memiliki
legitimasi untuk memberikan kerangka hidup yang lebih menyeluruh
daripada demokrasi. Perbedaan keluasan ini akan menempatkan demokrasi di
hadapan hukum dan ajaran Islam. Dengan kata lain, demokrasi dihadapkan
pada teologi Islam.
Relasi antara
demokrasi dan gagasan teologis Islam (konsisten dengan prinsip tauhid)
juga bersifat subordinatif. Artinya, aspek teologis Islam menjadi
otoritas tertinggi dan itu berarti demokrasi pun harus menyesuaikan diri
dengan "jiwa dari hukum yang diwahyukan"." Kalau demikian, memang harus
diakui bahwa antara Islam dan demokrasi ada perbedaan esensial.
Demokrasi yang muncul sebagai hasil olah pikir manusia membuka peluang
besar bagi perubahan nilai oleh masyarakat dan dapat saja perubahan ini
justru merongrong nilai abadi dalam Islam."
Kiranya
di sinilah letak potensi pertentangan antara Islam dan demokrasi, yaitu
ketika gagasan-gagasan teologis dalam Islam sendiri berhadapan dengan
gagasan demokrasi (yang tentunya tidak dilandasi perwahyuan
transendental). Kasus Mahmud Mohamed Taha (yang dihukum gantung karena
menyuarakan hak untuk berpindah agama) dapat menjadi contoh jelas untuk
menggambarkan betapa institusi keagamaan, biar bagaimanapun, memiliki
sistem kepercayaan yang dapat bertentangan dengan gagasan demokrasi.
Demokrasi Islamiah
Berkenaan
dengan catatan kedua, bahwa demokrasi tidak memiliki arti secara tepat
yang disetujui bersama, dapat dikatakan bahwa demokrasi compatible
dengan Islam. Hal ini dapat dimengerti karena adanya kemungkinan bagi
Islam untuk memberi pemaknaan terhadap demokrasi. Memberi makna kepada
demokrasi berarti menginklusikan demokrasi dalam Islam atau lebih
tepatnya memberi warna islamiah pada demokrasi. Di sini dapat dipahami
bahwa syari'ah demokratis menjadi deep driving force yang menentukan
pola tingkah laku manusia. Demokrasi tidak dipandang sebagai satu
'budaya' luar (Barat misalnya) tetapi memang secara internal ada dalam
Islam sehingga harus diekstemalisasikan menurut syari'ah Islam. Dengan
demikian, mungkin akan tampak bahwa demokrasi diberi atribut Islam:
demokrasi islamiah.
Dalam hal
ini, demokrasi tidak lagi menjadi kutub yang dihadapi Islam sehingga
tidak ada konflik antara keduanya. Kalau ada konflik, hal itu hanya akan
memposisikan demokrasi sebagai medium antara Islam dan kekuasaan
politik lainnya. Hal ini misalnya ditunjukkan dalam pergumulan Islam
dengan kekuatan militer di Indonesia." Demokrasi menjadi medium
pergulatan interpretasi antara aspek- aspek teologis Islam dan
aspek-aspek kekuatan politik yang lain. Kedua kekuatan politik ini
memang memiliki hak untuk menginterpretasikan demokrasi dan dengan
interpretasi itulah keduanya dapat bersitegang. Dengan demikian, letak
konflik bukan antara Islam dan demokrasi, melainkan antara Islam dan
kekuatan politik lain.
Islam dan demokrasi, biara bagaimanapun, dalam
batas catatan kedua tadi, bertalian kuat sehingga dapat dikatakan bahwa
Islam compatible dengan demokrasi dan sebaliknya.
Syari'ah demokratis memberi legitimasi
pada demokrasi untuk disebut sebagai sistem gagasan yang islamiah.
Selain itu, secara historis Islam sendiri memiliki tradisi yang
menunjukkan ciri-dri demokrasi. Keadaan bahwa kepemimpinan ditetapkan
atas dasar achievement, proses pemilihan terbuka, hak dan kewajiban
rakyat yang sama/ pengakuan hak pada golongan agama lain, secara
historis menunjukkan keunggulan Islam sebagai kekuatan politik yang luar
biasa pada masanya.
Keadaan ini
menjadi salah satu gambaran bagaimana Islam mewujudkan demokrasi dengan
ciri-ciri demokratis yang dimilikmya. Aspek historis yang menjadi
tradisi pada masa awal perkembangan Islam itu menunjukkan peluang adanya
Islam demokratis.
Islam Demokratis: Suatu Antisipasi
Dari
uraian tersebut di atas, dapatlah dilihat bahwa sebenamya potensi
pertentangan antara Islam dan demokrasi terletak pada bagaimana kedua
substansi itu ditafsirkan. Tentu saja tidak dapat disangkal bahwa
menyebut Islam berarti menunjukkan unsur teologis, sedangkan menyebut
demokrasi (sebagai istilah umum tanpa atribut Barat atau pun Islam)
berarti mengacu pada sistem gagasan 'sekular' yang tanpa gagasan
teologis pun dapat bertahan. Jika salah satu, apalagi keduanya,
substansi itu dibatasi secara kaku, terjadilah kontradiksi antara Islam
dan demokrasi.
Demokrasi memang
menimbulkan banyak pertanyaan rilosons untuk menentukan
batasan-batasannya. Kerumitan titik pijak diskusi demokrasi ini memberi
kesan bahwa demokrasi memang tidak dapat diidentikkan dengan
atribut-atribut tertentu. Dalam hal ini, demokrasi memang kiranya tidak
perlu diidentikkan dengan demokrasi liberal Barat (walaupun dalam banyak
kesempatan diklaim bahwa peradaban yang mutakhir dewasa ini adalah
demokrasi lib- eral Barat). Kembali ke awal tulisan ini, sebagai prinsip
dasar cukuplah diandaikan bahwa demokrasi adalah perimbangan politik.
Dalam
pelaksanaannya, variasi akan terjadi di mana-mana sehingga memang tidak
dapat ditentukan model negara demokrasi yang akurat. Dengan demikian,
Islam dapat berinteraksi dengan demokrasi. Akan tetapi, interaksi itu
pun akan mengalami stagnasi kalau Islam ditafsirkan secara kaku atau
tradisional. Dengan kata lain, dialog Islam dan demokrasi akan mengalami
kebuntuan kalau teologi Islam sendiri tidak mengalami transformasi.
Kebuntuan ini disebabkan bukan oleh sifat statisnya demokrasi, melainkan
oleh kemacetan Islam dalam merumuskan kembali identitasnya, yang dalam
hal ini teologinya.
Masa depan
Islam sedikit banyak akan ditentukan oleh bagaimana teologi Islam dapat
memberi makna pada arus kemajuan. Untuk itulah Islam tidak dapat tidak
mengupayakan suatu teologi transformatif sehingga Islam memberikan ruang
kebebasan yang diperlukan untuk menanggapi perkembangan zaman . Di
sini/ Islam perlu merumuskan pandangan-pandangan terhadap misalnya
sekularisasi, martabat manusia, solidaritas, kerja sama antar agama
mengingat adanya pluralitas agama.
Termasuk
di dalamnya juga Islam perlu menjadi terbuka untuk memegang syari'ah
secara wajar. Artinya, sumber-sumber syari'ah itu perlu dilihat secara
proporsional, yang berarti mempertimbangkan aspek historis. Dengan
demikian, dapatlah ditemukan mana vang sungguh-sungguh perenial dan mana
yang bersifat spasial dan temporal. Jadi, dapat dibedakan antara yang
mutlak dan relatif sehingga tidak ada pemutlakan antara keduanya (yang
cenderung menimbulkan ciri ideologis dalam Islam).
Usaha
ini akan menghindarkan Islam dari bahaya stagnasi dan arogansi
sebagaimana pemah dialami oleh institusi Gereja. Sebut saja salah satu
gagasan teologisnya yang seringkali dijadikan contoh landasan kemandegan
Katolik, yaitu gagasan extra ecclesiam nullasa us. Aksioma teologis
semacam ini memandulkan Gereja sebelum Konsili Vatikan II secara resmi
memberi angin segar keterbukaan. Gereja lambat laun memperbaharui diri
menggumuli hidup bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Keadaan kondusif
itu memerlukan suatu reinterpretasi terhadap gagasan-gagasan dasar
teologis maupun gagasan-gagasan dasar sekularisasi dunia.
Usaha
reinterpretasi terhadap Islam atau membuat semacam teologi
transformatif itu juga akan memantapkan kekuatan politis Islam baik
dalam tataran teori maupun dalam implementasinya. Secara teoritis
dapatlah disimpulkan bahwa Islam tetap memandang demokrasi sebagai
bagian penting peradaban manusia. Dalam ungkapan yang lebih lugas bahkan
dapat dikatakan Islam dan demokrasi tidak dapat dipisahkan (meskipun
tentu saja dapat dibedakan), sebagaimana doktrin Islam menunjuk adanya
keterkaitan yang begitu kuat antara Islam dan negara. Karena itu, secara
teoritis hubungan Islam dan demokrasi tidak pemah dicemaskan. Relasi
antara Islam dan demokrasi juga lebih bersifat positif.
Setidak-tidaknya, syari'ah demokratis lebih menonjol jika dibandingkan
dengan syari'ah non-demokratis. Hal inilah yang seharusnya dikembangkan
oleh masyarakat Islam secara umum.
Praktik Islam Demokratis
Lain
halnya kalau pola hubungan Islam dan demokrasi ditilik dari sisi
politik praktis. Kadang kala yang terjadi justru syari'ah yang
nondemokratis lebih menonjol. Setidak-tidaknya penghayatan syari'ah itu
tidak sesuai dengan semangat demokrasi. Kalau sudah pada taraf
implementasi, biasanya pertimbangan pragmatis akan lebih banyak
berperan. Usaha teoritis untuk secara murni menghayati Islam dapat saja
direduksi sebagai suatu kegiatan politik belaka. Padahal, sebagaimana
ditekankan sebagai prinsip tawhid, kegiatan politik sebenamya menjadi
manifestasi Islam sebagai gejala teologis.
Dalam
hal ini, dapat dimengerti bahwa manifestasi Islam tersebut memang tidak
dapat dibakukan dalam satu wadah. Sejarah Indonesia menyaksikan bahwa
Islam di Indonesia memiliki kekayaan wadah yang seringkali oleh pengamat
disederhanakan sebagai Islam cultural dan Islam skriptural. Lepas dari
polemik penyederhanaan itu, dapat dikatakan di sini bahwa praktik yang
dilakukan oleh Islam memiliki implikasi yang besar bagi perkembangan
demokrasi di Indonesia. Tentu saja/ pertama-tama karena Islam memiliki
basis masa yang sangat besar.
Dapat
dikatakan bahwa perkembangan demokrasi di Indonesia bergantung pada
solidaritas Islam. Kalaupun dimasukkkan juga unsur militer, militer pun
(karena sebagai angkatan bersenjata secara teoritis tidak memiliki
legitimasi untuk suatu demokrasi) akan bergantung juga pada gerak Islam.
Kalau demikian/ tidak dapat tidak Islam harus menjadi promoter bagi
perjuangan demokrasi. Akan tetapi, peran ini tidak akan efektif selama
Islam tidak membuka dialog dengan kekuatan politik lainnya. Karena itu,
Islam tetap dituntut menjadi Islam yang demokratis.
Dalam
praktik sehari-hari, agaknya Islam demokratis bukanlah realitas semua
di kalangan grass-root. Nilai-nilai demokratis sudah dihayati oleh
kelompok besar Islam. Kalau pada kenyataannya suasana demokrasi itu
tidak terjadi dalam percaturan politik di Indonesia, itu berarti bahwa
di tingkat elitlah Islam mengalami kemacetan. Elit Islam tidak perlu
dibatasi pada pimpinan di pemerintahan, karena termasuk juga dalam
kelompok ini para kaum terpelajar, pers, maupun tokoh (pemimpin) umat
local. Dengan mengandaikan bahwa budaya politik demokratis (bukan
sekedar penghayatan nilai-nilai demokrasi, melainkan juga soal
institusi) lahir dari atas, kiranya dapatlah ditegaskan perlunya
konsolidasi di tingkat elit Islam. Tentu saja, karena begitu ragamnya
eUt Islam ini, konsolidasi bukanlah sesuatu yang mudah dan cepat
dicapai. Pada kenyataannya, konsolidasi itu juga perlu dilakukan justru
dengan membangun jaringan lintas agama. Di sini, diperlukanlah suatu
dialog antar agama.
Dialog itu
tidak cukup dilakukan dalam tataran teologis (sehingga yang berdialog
hanyalah para teolog) tetapi juga perlu mencakup tingkat politis. Dalam
hal ini, diperlukan semacam koalisi yang dapat menunjang penyelenggaraan
demokrasi di Indonesia sebagai Negara yang mau tidak mau dikategorikan
sebagai negara Dunia Ketiga. Dengan strategi ini, Islam tetap memiliki
peluang untuk mewujudkan syari'ah demokratis, sambil sendiri
mengembangkan Islam yang demokratis. Dengan demikian, semakin
berterimalah bahwa jalan menuju demokrasi bagi Islam di Indonesia adalah
jalan yang sangat panjang, yang tidak mungkin ditempuh dengan semangat
eksklusif. Karena itu, wanted. Islam inklusif, Islam demokratis.
Kesimpulan
Dari uraian singkat diatas dapat disimpulan bahwa:
1.
Islam harus dipahami secara integral, sebagai agama yang disamping
memperhatikan permasalahan-permasalahan akhirat, dia juga tidak pemah
meremehkan masalah-masalah kekinian dan masa depan manusia sebagai
makhluk pilihan Tuhan yang dalam bahasa agama dipercaya sebagai
khalifah, wakil Tuhan di muka bumi ini, dengan mengembangkan
persoalan-persoalan yang bermanfa'at bagi masyarakat secara umum, atau,
dalam istilah ahli ushul disebut dengan al-Mashalih al- Mursalah.
2.
Islam adalah agama yang sangat terbuka dan akomodatif terhadap segala
perkembangan kebudayaan manusia dengan konsep-konsep yang
dikembangkannya. Demokrasi, bagi Islam, bukanlah sesuatu yang asing
karena di dalamnya terkandung konsep kesetaraan diantara seluruh
manusia. Islam sebenamya tidak pemah memandang demokrasi sebagai
kebudayaan Barat yang harus dihindari. Memang konsep itu secara kultural
berkembang di Barat tetapi secara internal telah ada dalam Islam. Tidak
suatu bukti yang jelas dan transparan yang dapat dijadikan indikator
bahwa konsep demokrasi menyalahi dan bertentangan dengan syura.
Masalahnya sekarang adalah bagaimana umat Islam mengisi demokrasi itu
sejalan dengan syariat Islam. Wallahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar