Minggu, 03 Juni 2012

Islam dan Demokrasi

Islam merupakan agama yang rahmatan lil 'alamin, sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Al-Qur'an dan al-Sunnah adalah sumber utama dalam agama ini dan terhadap hal-hal yang tidak diterangkan secara eksplisit dalam dua sumber tersebut umat Islam diperbolehkan untuk berinisiatif (ber-ijtihad) guna menemukan ketentuan hukum.


Hadits Rasulullah yang dijadikan sebagai landasan untuk berijtihad ini telah banyak dikenal oleh kaum muslimin; yaitu hadits yang membicarakan tentang peristiwa diutusnya Mua'dz bin Jabal. Ketika rasulullah akan mengutus Mu'adz bin Jabal untuk menjadi Gubernur di Yaman beliu bertanya kepada Mu'adz: "Apabila dihadapkan kepadamu suatu kasus hukum, bagaimana anda memutuskannya?". Mu'adz menjawab: "Saya akan memutuskannya berdasarkan al-Qur'an". Rasul bertanya lagi: "Jika tidak ada dalam al-Qur'an?". Mu'adz menjawab: "Dengan Sunnah Rasulullah". Rasul bertanya lagi: " Jika dalam Sunnah Rasul juga tidak ada ?". Mu'adz menjawab: " Saya akan berijtihad (berinisiatif) dengan pendapatku". Kemudian rasulullah menepuk-nepuk dadanya, seraya berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada
utusan Rasulullah terhadap jalan yang diridhaiNya."

Hadits tersebut mengisyaratkan kepada kita bahwa apabila al-Qur'an dan al-Sunnah tidak menerangkan secara eksplisit tentang sesuatu hukum maka diperbolehkan kepada kaum muslimin untuk melakukan ijtihad. Jadi, berijtihad dengan mempergunakan akal pikiran yang sehat dalam permasalahan hukum Islam, yang pada hakekatnya merupakan pemikiran falsafah itu diperbolehkan oleh rasul.

Dan pada saat sekarang ini, dimana masyarakat telah dan akan selalu mengalami perubahan baik berupa perubahan tatanan sosial, politik, budaya, ekonomi dan lain sebagainya, nampaknya ijtihad sudah menjadi kebutuhan kaum muslimin dalam rangka menjawab persoalan-persoalan hukum kotemporer dengan syarat bahwa para mujtahid harus selalu memperhatikan maqasidal-Shari'ah, tujuan-tujuan syari'at yang diantaranya dimaksudkan untuk memelihara kemashlahatan ummat manusia secara keseluruhan.

Diantara masalah-masalah kontemporer yang sering diperbincangkan orang dan pemah ditanyakan kepada Dr. Yusuf al-Qardhawi adalah masalah demokrasi. Karena ada sebagian aktivis Muslim yang mengaku mempunyai komitmen tinggi terhadap agama dan bergabung dalam beberapa jama'ah Islamiyah mengatakan bahwa demokrasi adalah berlawanan dengan Islam, karena demokrasi adalah pemerintahan rakyat terhadap rakyat, padahal menurut mereka rakyat bukanlah pihak yang memerintah, tetapi hanya Allah-lah yang memerintah dan memutuskan.

Terhadap pertanyaan tersebut Yusuf al-Qardhawi menyatakan bahwa sungguh aneh apabila sebagian orang menyatakan bahwa demokrasi adalah suatu kemungkaran dan kekafiran yang nyata, padahal mereka belum, bahkan tidak mengetahui persis hakekat dan esensi demokrasi. Dan mereka hanya mengetahui kulit luarnya saja.

Sementara itu ada pendapat lain menyatakan bahwa sebagai sebuah konsep dan sekaligus juga prinsip, syura dalam Islam tidak berbeda dengan demokrasi. Baik syura maupun demokrasi muncul dari bahwa pertimbangan kolektif lebih mungkin melahirkan hasil yang adil dan masuk akal bagi kebaikan bersama daripada pilihan individual. Dan juga tidak ditemukan indikator bahwa syura sebagai atau tidak sesuai dengan elemen-elemen dasar dari sebuah sistim demokratis.

Persoalan ini betul-betul memerlukan penjelasan yang tuntas dan tegas dari "ulama moderat" yang tidak ekstrim dan tidak pula lalai. Sehingga persoalan bisa didudukkan pada proporsinya yang benar dan Islam tidak lagi dibebani oleh berbagai macam penafsiran yang tidak benar, walaupun hal itu dilontarkan oleh sebagian ulama yang bagaimanapun mereka adalah manusia yang bisa salah dan bisa juga benar . Dan untuk menanggapi masalah tersebut, dalam makalah ini akan diuraikan tentang persoalan-persoalan yang berkaitan dengan demokrasi dan akan dikaitkan dengan esensi syari'at Islam, sehingga dapat disimpulkan tepat tidaknya menggemakan konsep demokrasi sebagai bagian dari interpretasi syura.

Kaidah-Kaidah Demokrasi

Kaidah-kaidah demokrasi di sini kiranya perlu dikembalikan kepada pengertian demokrasi yang mengandaikan prinsip kesetaraan. Prinsip ini dapat diderivasikan pada Surah al-Hujurat (49): 13, yang menunjukkan teosentrisme dalam Islam yang menyatakan kesatuan sebagai awal eksistensi manusia. Pluralitas kebangsaan yang terjadi pada akhimya harus dikembalikan kepada prinsip asli dengan kaidah ta'aruf (saling mengenal). Kaidah ini jelas mengandaikan adanya kesamaan, kebebasan, dan juga komunikasi dialogis tanpa dominasi satu kelompok terhadap yang lain. Hal ini jelas sangat penting bagi suatu demokrasi yang efektif.

Kaidah yang kedua diasalkan pada Surah Asy-Syura (42):38 dan Ali 'lmran (3):159 yang mengungkapkan kewajiban musyawarah dalam Islam. Prinsip ini rupanya juga diperkuat oleh sumber sekunder syari'ah, yaitu penghayatan yang dilakukan oleh Nabi sendiri. Kaidah musyarawah ini (syura) sifatnya inklusif karena terbuka juga bagi kelompok non-muslim.

Kaidah berikutnya adalah ta 'awun yang didasarkan pada Surah Al-Maidah (5) :2 yang menyatakan adanya tuntutan untuk kerja sama demi 'kepentingan' Tuhan dan kepentingan manusia sendiri. Di sini prinsip untuk demokrasi dimengerti secara positif sebagai prinsip untuk membangun iklim yang 'bajik' bagi hidup komunitas. Untuk itulah diperlukan kerja sama juga secara positif baik dalam level komunitas ke dalam maupun dalam level makro. Prinsip ini bermanfaat sebagai proses demokratisasi di setiap tingkat komunitas.

Kaidah berikutnya banyak dijumpai dalam Al-Quran sebagai padanan akar kata 'shahih', yaitu mashlahah. Kaidah ini berfungsi sebagai suatu moral force supaya setiap individu berbuat baik sehingga menguntungkan pihak lain (amar ma'ruf nahi munkar). Di sini Islam berperanan secara tidak langsung, dalam arti melalui individu atau kebudayaan (meskipun toh Kuntowijoyo menyatakan bahwa sebenarnya agama juga berperan langsung dalam proses demokratisasi).

Kaidah lainnya adalah 'Adl atau adil yang ditemukan dalam Surah An-Nisa' (4):58 dilanjutkan juga pada Surah Al-An'am (6):152. Tentu saja prinsip keadilan ini self-evident penting sebagai elemen demokrasi. Keadilan di sini mencakup keadilan sosial (distributive justice) maupun keadilan ekonomi (productive justice). Cakupan ini diulas lebih lanjut dalam kajian tentang demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi oleh Kuntowijoyo.

Kaidah demokrasi terakhir yang disebutkan oleh Kuntowijoyo adalah taghyir atau perubahan. Kaidah ini dapat ditemukan dalam Surah Ar-Ra'd (13):11 yang menyatakan bahwa manusia berperan besar dalam menentukan perubahan hidup. Kaidah ini mengingatkan sejarah demokrasi di Atena yang diwarnai oleh tuntutan pergantian anggota Dewan Lima Ratus. Elemen ini tidak dapat dihindari oleh demokrasi yang tidak mengakomodasi kecenderungan status quo.

Demokrasi menuntut suatu perubahan yang memang sejalan dengan perkembangan kesadaran manusia yang selalu ingin mengadakan perbaikan. Surah Al-Insyiqaq (84):19 mendukung peran manusia dalam berproses untuk berubah, bagaimanapun perubahan itu akan berlangsung. Tentu dari sekian sumber syari'ah itu tidak ada satu pun yang menyebutkan demokrasi. Dalam batas tertentu memang kaidah ini terkesan menjadi rasionalisasi untuk menyatakan bahwa Islam itu compatible dengan demokrasi. Akan tetapi, hal itu memang perlu dilakukan sebagai upaya kontak dengan arus perkembangan tetapi tetap berbasis, Di sini diperlukan 'dialog' antara Islam sebagai satu kekuatan politik yang besar dan demokrasi sebagai suatu sistim peradaban yang diakui secara universal menjadi cita-cita. Bagaimana sebaiknya Islam 'berdialog' dengan demokrasi?
Islam dan Demokrasi: Suatu Nisbah

Sebelum meninjau nisbah antara Islam dan demokrasi, kiranya perlu disampaikan terlebih dahulu setidak-tidaknya dua catatan penting yang harus diperhatikan. Pertama, Islam dan demokrasi tidak dapat diperbandingkan dalam level yang setingkat. Artinya, Islam sebagai kekuatan politik tidak dapat dilihat dengan mengesampingkan aspek-aspek keagamaan yang meliputi cult, creed, code, community. Demokrasi tidak memiliki elemen-elemen seperti itu sehingga tidak seimbanglah kalau dibandingkan dengan Islam secara keseluruhan. Dalam hal ini, demokrasi hanyalah bagian kecil dari sistem kepercayaan dalam Islam, kemudian, demokrasi sendiri tidak memiliki arti yang secara tepat disetujui bersama. Kalau demikian, artinya tidak ada basis pijakan yang mutlak wajib dipakai sebagai penentu kajian relasi antara Islam dan demokrasi.
 
Demokrasi tidak dapat menentukan suatu ideal type bagi dirinya sendiri baik dalam definisi maupun dalam implementasinya. Sebagai implikasinya, Islam pun dapat memberi pengertian, memberi isi kepada apa yang disebut demokrasi sesuai dengan kerangka pemahaman yang bernafaskan Islam. Dengan demikian, Islam juga berhadapan dengan instansi lain yang juga memiliki kans untuk memberi penafsiran atas demokrasi.

Kedua catatan ini cukup penting titik tolak untuk melihat sifat relasi antara Islam dan demokrasi. Islam dan demokrasi bukanlah dua entitas yang dapat dipertentangkan begitu saja atau sebaliknya, dianggap 'satu blok'. Di satu sisi, dapat dikatakan demokrasi itu compatible dengan Islam, tetapi, di lain sisi, harus diberi catatan bahwa kecocokan itu ada dalam batas-batas tertentu. Islam tetap memiliki aspek yang dapat memberi kesan ketidaksesuaian demokrasi.

Islam VS Demokrasi

Berkenaan dengan catatan pertama, bahwa Islam dan demokrasi tidak dapat dibandingkan dalam level yang setingkat, kiranya perlu diakui adanya pola hubungan subordinatif dalam paradigma Islam. Pola hubungan subordinatif ini menempatkan Islam sebagai substansi mutlak sedangkan negara menjadi relatif. Di hadapan negara Islam bersifat mutlak dalam arti bahwa negara dapat menjadi ekspresi nilai-nilai perenial Islam.

Dari pola hubungan yang demikian juga dapat dimengerti bahwa Islam menjadi rujukan sedangkan negara merupakan sarana saja (betapapun pentingnya sarana itu). Padahal, demokrasi hanyalah satu dari sekian piranti penyelenggaraan negara. Karena itu, dalam batas tertentu dapat dikatakan bahwa Islam pun bersifat mutlak terhadap demokrasi. Kemutlakan Islam kiranya terletak pada kompleksitas dan kelengkapan (setidak-tidaknya menurut klaim agama) sistem gagasannya. Dengan klaim ini Islam memiliki legitimasi untuk memberikan kerangka hidup yang lebih menyeluruh daripada demokrasi. Perbedaan keluasan ini akan menempatkan demokrasi di hadapan hukum dan ajaran Islam. Dengan kata lain, demokrasi dihadapkan pada teologi Islam.

Relasi antara demokrasi dan gagasan teologis Islam (konsisten dengan prinsip tauhid) juga bersifat subordinatif. Artinya, aspek teologis Islam menjadi otoritas tertinggi dan itu berarti demokrasi pun harus menyesuaikan diri dengan "jiwa dari hukum yang diwahyukan"." Kalau demikian, memang harus diakui bahwa antara Islam dan demokrasi ada perbedaan esensial. Demokrasi yang muncul sebagai hasil olah pikir manusia membuka peluang besar bagi perubahan nilai oleh masyarakat dan dapat saja perubahan ini justru merongrong nilai abadi dalam Islam."

Kiranya di sinilah letak potensi pertentangan antara Islam dan demokrasi, yaitu ketika gagasan-gagasan teologis dalam Islam sendiri berhadapan dengan gagasan demokrasi (yang tentunya tidak dilandasi perwahyuan transendental). Kasus Mahmud Mohamed Taha (yang dihukum gantung karena menyuarakan hak untuk berpindah agama) dapat menjadi contoh jelas untuk menggambarkan betapa institusi keagamaan, biar bagaimanapun, memiliki sistem kepercayaan yang dapat bertentangan dengan gagasan demokrasi.

Demokrasi Islamiah

Berkenaan dengan catatan kedua, bahwa demokrasi tidak memiliki arti secara tepat yang disetujui bersama, dapat dikatakan bahwa demokrasi compatible dengan Islam. Hal ini dapat dimengerti karena adanya kemungkinan bagi Islam untuk memberi pemaknaan terhadap demokrasi. Memberi makna kepada demokrasi berarti menginklusikan demokrasi dalam Islam atau lebih tepatnya memberi warna islamiah pada demokrasi. Di sini dapat dipahami bahwa syari'ah demokratis menjadi deep driving force yang menentukan pola tingkah laku manusia. Demokrasi tidak dipandang sebagai satu 'budaya' luar (Barat misalnya) tetapi memang secara internal ada dalam Islam sehingga harus diekstemalisasikan menurut syari'ah Islam. Dengan demikian, mungkin akan tampak bahwa demokrasi diberi atribut Islam: demokrasi islamiah.

Dalam hal ini, demokrasi tidak lagi menjadi kutub yang dihadapi Islam sehingga tidak ada konflik antara keduanya. Kalau ada konflik, hal itu hanya akan memposisikan demokrasi sebagai medium antara Islam dan kekuasaan politik lainnya. Hal ini misalnya ditunjukkan dalam pergumulan Islam dengan kekuatan militer di Indonesia." Demokrasi menjadi medium pergulatan interpretasi antara aspek- aspek teologis Islam dan aspek-aspek kekuatan politik yang lain. Kedua kekuatan politik ini memang memiliki hak untuk menginterpretasikan demokrasi dan dengan interpretasi itulah keduanya dapat bersitegang. Dengan demikian, letak konflik bukan antara Islam dan demokrasi, melainkan antara Islam dan kekuatan politik lain.

 Islam dan demokrasi, biara bagaimanapun, dalam batas catatan kedua tadi, bertalian kuat sehingga dapat dikatakan bahwa Islam compatible dengan demokrasi dan sebaliknya. Syari'ah demokratis memberi legitimasi pada demokrasi untuk disebut sebagai sistem gagasan yang islamiah. Selain itu, secara historis Islam sendiri memiliki tradisi yang menunjukkan ciri-dri demokrasi. Keadaan bahwa kepemimpinan ditetapkan atas dasar achievement, proses pemilihan terbuka, hak dan kewajiban rakyat yang sama/ pengakuan hak pada golongan agama lain, secara historis menunjukkan keunggulan Islam sebagai kekuatan politik yang luar biasa pada masanya.

Keadaan ini menjadi salah satu gambaran bagaimana Islam mewujudkan demokrasi dengan ciri-ciri demokratis yang dimilikmya. Aspek historis yang menjadi tradisi pada masa awal perkembangan Islam itu menunjukkan peluang adanya Islam demokratis.

Islam Demokratis: Suatu Antisipasi

Dari uraian tersebut di atas, dapatlah dilihat bahwa sebenamya potensi pertentangan antara Islam dan demokrasi terletak pada bagaimana kedua substansi itu ditafsirkan. Tentu saja tidak dapat disangkal bahwa menyebut Islam berarti menunjukkan unsur teologis, sedangkan menyebut demokrasi (sebagai istilah umum tanpa atribut Barat atau pun Islam) berarti mengacu pada sistem gagasan 'sekular' yang tanpa gagasan teologis pun dapat bertahan. Jika salah satu, apalagi keduanya, substansi itu dibatasi secara kaku, terjadilah kontradiksi antara Islam dan demokrasi.

Demokrasi memang menimbulkan banyak pertanyaan rilosons untuk menentukan batasan-batasannya. Kerumitan titik pijak diskusi demokrasi ini memberi kesan bahwa demokrasi memang tidak dapat diidentikkan dengan atribut-atribut tertentu. Dalam hal ini, demokrasi memang kiranya tidak perlu diidentikkan dengan demokrasi liberal Barat (walaupun dalam banyak kesempatan diklaim bahwa peradaban yang mutakhir dewasa ini adalah demokrasi lib- eral Barat). Kembali ke awal tulisan ini, sebagai prinsip dasar cukuplah diandaikan bahwa demokrasi adalah perimbangan politik.

Dalam pelaksanaannya, variasi akan terjadi di mana-mana sehingga memang tidak dapat ditentukan model negara demokrasi yang akurat. Dengan demikian, Islam dapat berinteraksi dengan demokrasi. Akan tetapi, interaksi itu pun akan mengalami stagnasi kalau Islam ditafsirkan secara kaku atau tradisional. Dengan kata lain, dialog Islam dan demokrasi akan mengalami kebuntuan kalau teologi Islam sendiri tidak mengalami transformasi. Kebuntuan ini disebabkan bukan oleh sifat statisnya demokrasi, melainkan oleh kemacetan Islam dalam merumuskan kembali identitasnya, yang dalam hal ini teologinya.

Masa depan Islam sedikit banyak akan ditentukan oleh bagaimana teologi Islam dapat memberi makna pada arus kemajuan. Untuk itulah Islam tidak dapat tidak mengupayakan suatu teologi transformatif sehingga Islam memberikan ruang kebebasan yang diperlukan untuk menanggapi perkembangan zaman . Di sini/ Islam perlu merumuskan pandangan-pandangan terhadap misalnya sekularisasi, martabat manusia, solidaritas, kerja sama antar agama mengingat adanya pluralitas agama.

Termasuk di dalamnya juga Islam perlu menjadi terbuka untuk memegang syari'ah secara wajar. Artinya, sumber-sumber syari'ah itu perlu dilihat secara proporsional, yang berarti mempertimbangkan aspek historis. Dengan demikian, dapatlah ditemukan mana vang sungguh-sungguh perenial dan mana yang bersifat spasial dan temporal. Jadi, dapat dibedakan antara yang mutlak dan relatif sehingga tidak ada pemutlakan antara keduanya (yang cenderung menimbulkan ciri ideologis dalam Islam).

Usaha ini akan menghindarkan Islam dari bahaya stagnasi dan arogansi sebagaimana pemah dialami oleh institusi Gereja. Sebut saja salah satu gagasan teologisnya yang seringkali dijadikan contoh landasan kemandegan Katolik, yaitu gagasan extra ecclesiam nullasa us. Aksioma teologis semacam ini memandulkan Gereja sebelum Konsili Vatikan II secara resmi memberi angin segar keterbukaan. Gereja lambat laun memperbaharui diri menggumuli hidup bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Keadaan kondusif itu memerlukan suatu reinterpretasi terhadap gagasan-gagasan dasar teologis maupun gagasan-gagasan dasar sekularisasi dunia.

Usaha reinterpretasi terhadap Islam atau membuat semacam teologi transformatif itu juga akan memantapkan kekuatan politis Islam baik dalam tataran teori maupun dalam implementasinya. Secara teoritis dapatlah disimpulkan bahwa Islam tetap memandang demokrasi sebagai bagian penting peradaban manusia. Dalam ungkapan yang lebih lugas bahkan dapat dikatakan Islam dan demokrasi tidak dapat dipisahkan (meskipun tentu saja dapat dibedakan), sebagaimana doktrin Islam menunjuk adanya keterkaitan yang begitu kuat antara Islam dan negara. Karena itu, secara teoritis hubungan Islam dan demokrasi tidak pemah dicemaskan. Relasi antara Islam dan demokrasi juga lebih bersifat positif. Setidak-tidaknya, syari'ah demokratis lebih menonjol jika dibandingkan dengan syari'ah non-demokratis. Hal inilah yang seharusnya dikembangkan oleh masyarakat Islam secara umum.

Praktik Islam Demokratis
Lain halnya kalau pola hubungan Islam dan demokrasi ditilik dari sisi politik praktis. Kadang kala yang terjadi justru syari'ah yang nondemokratis lebih menonjol. Setidak-tidaknya penghayatan syari'ah itu tidak sesuai dengan semangat demokrasi. Kalau sudah pada taraf implementasi, biasanya pertimbangan pragmatis akan lebih banyak berperan. Usaha teoritis untuk secara murni menghayati Islam dapat saja direduksi sebagai suatu kegiatan politik belaka. Padahal, sebagaimana ditekankan sebagai prinsip tawhid, kegiatan politik sebenamya menjadi manifestasi Islam sebagai gejala teologis.

Dalam hal ini, dapat dimengerti bahwa manifestasi Islam tersebut memang tidak dapat dibakukan dalam satu wadah. Sejarah Indonesia menyaksikan bahwa Islam di Indonesia memiliki kekayaan wadah yang seringkali oleh pengamat disederhanakan sebagai Islam cultural dan Islam skriptural. Lepas dari polemik penyederhanaan itu, dapat dikatakan di sini bahwa praktik yang dilakukan oleh Islam memiliki implikasi yang besar bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Tentu saja/ pertama-tama karena Islam memiliki basis masa yang sangat besar.

Dapat dikatakan bahwa perkembangan demokrasi di Indonesia bergantung pada solidaritas Islam. Kalaupun dimasukkkan juga unsur militer, militer pun (karena sebagai angkatan bersenjata secara teoritis tidak memiliki legitimasi untuk suatu demokrasi) akan bergantung juga pada gerak Islam. Kalau demikian/ tidak dapat tidak Islam harus menjadi promoter bagi perjuangan demokrasi. Akan tetapi, peran ini tidak akan efektif selama Islam tidak membuka dialog dengan kekuatan politik lainnya. Karena itu, Islam tetap dituntut menjadi Islam yang demokratis.

Dalam praktik sehari-hari, agaknya Islam demokratis bukanlah realitas semua di kalangan grass-root. Nilai-nilai demokratis sudah dihayati oleh kelompok besar Islam. Kalau pada kenyataannya suasana demokrasi itu tidak terjadi dalam percaturan politik di Indonesia, itu berarti bahwa di tingkat elitlah Islam mengalami kemacetan. Elit Islam tidak perlu dibatasi pada pimpinan di pemerintahan, karena termasuk juga dalam kelompok ini para kaum terpelajar, pers, maupun tokoh (pemimpin) umat local. Dengan mengandaikan bahwa budaya politik demokratis (bukan sekedar penghayatan nilai-nilai demokrasi, melainkan juga soal institusi) lahir dari atas, kiranya dapatlah ditegaskan perlunya konsolidasi di tingkat elit Islam. Tentu saja, karena begitu ragamnya eUt Islam ini, konsolidasi bukanlah sesuatu yang mudah dan cepat dicapai. Pada kenyataannya, konsolidasi itu juga perlu dilakukan justru dengan membangun jaringan lintas agama. Di sini, diperlukanlah suatu dialog antar agama.

Dialog itu tidak cukup dilakukan dalam tataran teologis (sehingga yang berdialog hanyalah para teolog) tetapi juga perlu mencakup tingkat politis. Dalam hal ini, diperlukan semacam koalisi yang dapat menunjang penyelenggaraan demokrasi di Indonesia sebagai Negara yang mau tidak mau dikategorikan sebagai negara Dunia Ketiga. Dengan strategi ini, Islam tetap memiliki peluang untuk mewujudkan syari'ah demokratis, sambil sendiri mengembangkan Islam yang demokratis. Dengan demikian, semakin berterimalah bahwa jalan menuju demokrasi bagi Islam di Indonesia adalah jalan yang sangat panjang, yang tidak mungkin ditempuh dengan semangat eksklusif. Karena itu, wanted. Islam inklusif, Islam demokratis.

Kesimpulan
Dari uraian singkat diatas dapat disimpulan bahwa:

1. Islam harus dipahami secara integral, sebagai agama yang disamping memperhatikan permasalahan-permasalahan akhirat, dia juga tidak pemah meremehkan masalah-masalah kekinian dan masa depan manusia sebagai makhluk pilihan Tuhan yang dalam bahasa agama dipercaya sebagai khalifah, wakil Tuhan di muka bumi ini, dengan mengembangkan persoalan-persoalan yang bermanfa'at bagi masyarakat secara umum, atau, dalam istilah ahli ushul disebut dengan al-Mashalih al- Mursalah.

2. Islam adalah agama yang sangat terbuka dan akomodatif terhadap segala perkembangan kebudayaan manusia dengan konsep-konsep yang dikembangkannya. Demokrasi, bagi Islam, bukanlah sesuatu yang asing karena di dalamnya terkandung konsep kesetaraan diantara seluruh manusia. Islam sebenamya tidak pemah memandang demokrasi sebagai kebudayaan Barat yang harus dihindari. Memang konsep itu secara kultural berkembang di Barat tetapi secara internal telah ada dalam Islam. Tidak suatu bukti yang jelas dan transparan yang dapat dijadikan indikator bahwa konsep demokrasi menyalahi dan bertentangan dengan syura. Masalahnya sekarang adalah bagaimana umat Islam mengisi demokrasi itu sejalan dengan syariat Islam. Wallahu A’lam



Tidak ada komentar:

Posting Komentar